Pages

Minggu, 18 Oktober 2009

RINDU TAK TERGENGGAM

Zafira !!!, sebuah bunga yang baru saja ranum dari sebuah pasangan cinta kedua insan yang telah berbingkai ikatan suci selama 37 tahun lamanya. Ranumnya membuahkan kehormatan yang begitu indah dibanding bunga-bunga lainnya. Keluhuran hati adalah mahkota berharga dalam hidupnya. Kesahajaan dalam bersikap merupakan tangkai penopang menjadi pribadi sejati. Keteguhan dalam berpegang terhadap komitmen adalah senjata ampuh memekarkan optimisme menatap hidup dengan keyakinan. Itu semua dia dapatkan dari hasil tempaan sebuah pondok pesantren kecil di pinggir kota yang hamper 7 tahun lamanya dia bersemayam di balik keberkahan ilmu dengan keikhlasan dan kelapangan.
Cinta !!!, yang membuat Zafira selalu berjiwa lapang dengan keadaanya. Keadaan yang mungkin tiap jiwa enggan menerima , merasakan bahkan menjelmakan dalam kodratnya. Dengan keterbatasan hidup yang menjadi statusnya, tak sedikitpun membuat dia goyah dengan keyakinan. Tak secuilpun celah dia ingin menghapus mimpi-mimpi yang telah ditasbihkan di setiap sujud-sujud malamnya. Dan tak seseganpun menoktahkan titik keteguhan yang telah dia tanam sejak dini, dia pupuk dan dia rawat hingga keteguhan itu tumbuh menjadi sebuah tanaman indah dan menyatu erat dalam jiwanya. Yakni cintanya kepada yang menciptakannya, cintanya kepada kekasih yang menganugerahkan cinta padanya dan cintanya kepada dua manusia yang menjelma malaikat dalam hidupnya, semuanya terlalu naïf baginya untuk mendustakan cinta yang membuat dia tak akan merasakan nikmatnya rasa bersyukur pada yang Maha Cinta.
“sohibuz Zafira almukarromah min dhairoti Jombang laqodh naalat assuratu min ‘ailatiha haalan, syukron !”. Begitu pengurus pondok pesantren tersebut memanggil santrinya dengan berbahasa arab dan inggris apabila ada kepentingan. Seperti menerima paket atau bingkisan dari keluarga, dikunjungi oleh orang tua dan kepentingan-kepentingan lainnya. Mendengar panggilan itu, Zafira spontan terbangun dari lelapnya alam di bawah sadar. Menghidupkan kembali energi jiwanya yang sempat mati sebab lama menanti hadirnya sepucuk surat dari kedua malaikat tercinta yang menurut dia terlampau lama. Membarakan api kerinduan yang tak bisa diukur oleh ukuran apapun. Mendidihkan nurani yang sesak memendam keinginan untuk lekas menatap dan membaca goresan tinta hati yang penuh cinta kasih dari kedua insan yang menurutnya adalah orang yang sangat berharga dalam hidupnya. Sebuah surat yang menjadikan jiwanya menjadi semakin bergelora meniti titian hidup ini. Baginya dengan selembar kertaslah yang hanya bisa meluruhkan rasa rindu antara dia dan orang tua terkasih. Sangat berarti walau hanya dengan bertatapan jiwa dengan goresan-goresan penuh makna.
Rasa haru dan bahagia terlukis jelas di raut wajah uniknya. Bagaimana tidak?, yang semestinya tiap 6 bulan sekali secara kontinyu dia menerima surat dari kedua malaikat dalam hidupnya. Sejak menginjak usia 7 tahun dia berdiam di tempat sucii tersebut ayah dan bundanya tak lagi menepati kebiasaan mengirim dan membalas tulisan-tulisan penuh jelmaan hati berisikan cinta dan kasih sayang. Sangat membuat Zafira gelisan dan resah memikirkan keadaan ayah bunda di kampung leluhurnya. Dan hari itu, perasaan khawatir dan cemas seketika lebur termakan bongkahan-bongkahan kebahagiaan yang menyebar dalam ruang hati. Ucapan syukur Alhamdulillah pada yang menciptakannya tak henti-henti ia lantunkan. Adalah wujud rasa terima kasih padaNya yang telah memeluk percikan-percikan doa yang tak pernah lengah ia hembuskan di setiap nafas ibadahnya. Secepat kilat dia buka bingkisan berisi surat itu dengan penuh gelora kebahagiaan. Dengan basmalah dia memulai membacanya namun, setelah dua baris dari kalimat yang ia baca, dengan mengerutkan dahi lapangnya bermaknakan keheranan yang terbias di pikiran Zafira. Ternyata yang tertera di barisan huruf-huruf itu mengatakan bahwa surat tersebut datangnya bukan dari kedua malaikat yang ia sangka melainkan dari paman kakak dari bunda tercinta. Paman Zafira memberitahu bahwa ayah bundanya tak sempat menulis bahkan mengirim surat untuk dia karena kesibukan mengurusi hajatan keluarga sekitar rumah dan kesibukan mencari nafkah menghidupi keluarga.
Menjadi tanda tanya besar dalam benak Zafira. Mengapa baru kali ini kedua malaikatnya mentitahkan orang lain mengirim balasan surat-surat Zafira yang telah lama tak ada jawaban dan tiba-tiba di saat seperti ini, di penghujung masa Zafira menimba ilmu di pesantren keanehan itu hadir. Bayangan-bayangan kekhawatiran menari-nari dalam pikiran Zafira namun, ia berusaha untuk menepisnya. Dia hanya bisa husnudhon dengan semua itu.
Malam menghinggap di peraduan bulan. Mendendangkan nyanyian sunyii senyap menyatu seutuhnya dengan kegelapan. Sepertiga malam menandakan tangan-tangan Tuhan berterbangan di penjuru semesta mencari hamba-hamba yang terlelap dalam kekhusuan dzikir berlinang air mata. Zafiralah salah satu hambaNya yang selalu mengadukan keluh kesah hidup padaNya. Karena baginya tak ada satupun wadah yang rela menampung air-air permohonan atas hasrat dan kegelisahan. Sejak kejadian siang hari tadi membuat pikiran Zafira kacau. Dia merasa ada yang janggal dengan keadaan hatinya. Dia juga memikirkan nasibnya yang akan secepatnya mengikuti tes ujian akhir pondok dan seleksi beasisiwa untuk kuliah dii Universitas Al-azhar Kairo, Mesir. Di lain itu dia harus bisa meraih asa yang telah lama dia rangkai demi dia dan kedua malaikatnya. Ambisinya memuncak, berhasrat membuat gugusan bintang-gemintang di langit menjadi lebih indah dan penuh makna bukan hanya untuk dirinya namun juga orang lain tentunya. Dia ingin segala ilmu yang telah ia peroleh kurang lebih 8 tahun lamanya tak sekedar hinggap lalu pergi entah kemana. Berharap pengorbanannya untuk meninggalkan kampung halaman sejak berumur 10th hingga saat ini dengan penuh keikhlasan dan kesabaran membuahkan arti begitu nyata dalam hidup. Semua itu ia lakukan bukan untuk siapa, melainkan untuk dihadiahkan kepada dua malaikat tercinta. Tentang kasih sayang, kesabaran, keikhlasan dan keridhoan Tuhan dengan kesuksesan yang ingin dia raih kelak menjadikan tombak penentu jati diri yang sebenarnya. Air mata Zafira tak hentinya mengalir membasahi seluruh luapan kesedihan. “Robbi… sesungguhnya hidupku, matiku dan segala impianku dalm hidup ini kupasrahkan semuanya padaMu. Jangan jadikan aku orang hamba yang jauh dari rahmat dan penglihatanMu. Semoga hati ini akan terus menengadah padaMu ”. bisikan zafira di akhir pengaduannya.
7 bulan telah dia langkahi dengan penuh keyakinan dan keihkhlasan. Titik penghujung penentuan kelanjutan studinya telah berbicara. Puji syukur pada yang Maha Mendengar adalah hal paling utama bagi Zafira. Akhirnya dia dinobatkan sebagi santri teladan di marhalahnya. Dan dia lolos dalam seleksi beasiswa kuliah ke Al-azhar Mesir. Kegembiraan tak dapat ia sembunyikan dari pandangan jiwa-jiwa sekelilingnya. Dia dihujani ucapan selamat dan sukses atas prestasi yang dia raih dari kawan-kawannya. Tuhan telah memeluk mimpi-mimpi Zafira dengan cinta. Yang ada dalam benak zafira saat itu adalah berhasrat untuk lekas meninggalkan pesantren dan kembali ke kampung halaman mengabarkan kesuksesan yang telah ia genggam dari hasil jerih payah selama 8 tahun lamanya. Menumpahkan cawan kerinduan yang telah memuncak kepada ayah dan bunda tercinta. Memeluk erat dan mendekap di pangkuannya. Ia ingin menatap nyata senyuman-senyuman bermaknakan kebanggan atas dirinya. Bersujud penuh hormat kepada kedua malaikat yang telah ia tinggalkan demi ilmu dan masa depan.
Setelah berpamitan kepada seluruh kawan, pengurus, guru-guru serta Pak Kyai dan Ibu Nyai pemilik pesantren itu dia melangkahkan kedua kakinya dengan penuh rasa enggan. Dia tak akan pernah melupakan kenangan-kenangan pahit maupun manis yang dia alami di pesantren yang telah membuat dirinya menemukan mutiara ilmu. Berharap dengan sangat berbagai ilmu dan pelajaran hidup yang telah ia telan selama 8 tahun lamanya tak akan sia-sia begitu saja. Dengan doa dan pengaharapan ia meninggalkan pondok pesantren tercinta.
Bau tanah kampung leluhur menyergap penciuman Zafira. Menambah sesak jiwa meredam kerinduan yang tek terkira. “saatnya menganugerahkan hadiah kesuksesan itu untuk ayah dan bunda” bisik Zafira pelan namun penuh arti. Namun, menurutnya perjalanan itu belumlah terhenti sampai di sini melainkan masih banyak jembatan-jembatan hidup terbentang yang harus dia lewati dengan kesabaran. Jantungnya berdegup kencang ketika berdiri di depan rumah yang menjadi saksi bisu lahirnya ke dunia. Namun suasananya sangat berbeda denga suasana awal pertama dia akan menuju ke pesantren. Keanehan itu hadir kembali. Dia heran mengapa rumahnya tampak sepi tak berpenghuni dan di sekelilingnya diramaikan oleh tumbuh-tumbuhan menjalar tak beraturan. Jantungnya semakin berdetak kencang, dia dihinggapi rasa takut yang entah dari mana datangya. Tak lama kemudian seorang kakek tua menghampirinya. “assalamu’alaikum, ini betul Nak Zafira putri Bapak Ahmad bukan?” tanya kakek tua dengan nada suara terbata-bata. “wa’alaikumsalam, ya kek benar saya baru lulus dari pesantren. Kalau boleh tahu mengapa rumah saya tempak sepi dan tak berpenghuni. Memangnya ayah dan bunda saya kemana? Pindah rumah atau...? ” sebelum Zafira melanjutkan omongannya, kakek tersebut memotong pembicaraan dan menjulurkan sepucuk surat pada Zafira. “surat dari siapa kek? Ayah dan bunda tinggal di mana sekarang?” kekhawatiran Zafira begitu tampak di wajahnya. Kakek itu tak sampai hati melihat Zafira begitu cemas. Tapi, walau bagaimanapun dia harus mengatakan yang sebenarnya terjadi. “baca saja surat itu nak. Bundamu menitipkannya ketika di ujung usianya. Ayahmu telah tiada 1 tahun yang lalu dan 6 hari setelahnya bundamu menyusul. Mereka berdua sama-sama terkena serangan jantung. Dia hanya menitipkan sepucuk surat itu dan sedikit warisan di Pak Lurah. Sengaja kau tidak dikabari karena takut menganggu aktivitas belajarmu. Ikhlaskan kepergian mereka, sabar dan pasrah Nak Zafira, tawakkal padaNya, semuanya Dialah yang mengatur, kakek pamit dulu, assalamu’alaikum”. Mendengar perkataan kakek tua itu Zafira hanya bisa berdiri kaku, diam membisu serasa ada yang mencekat di rahangnya. Jantungnya kembali berdegup lebih dahsyat darii sebelumnya. Keringatnya bercucuran, air matanya berderai. Dia merasa dunia yang awalnya memberikan cahaya gemerlap untuk masa depannya kelak seketika berubah menjadi gelap pekat. Kebahagiaanya luntur, harapannya musnah, baginya kesuksesan itu tiada berarti apa-apa. Dia hanya bisa pasrah dan ikhlas setelah membaca surat dari bundanya yang berisi “ Ananda Zafira terkasih, pandangilah bintang gemintang yang menggelepar di cakrawala lalu ambillah satu diantaranya untuk kau jadikan penerang hati dan jiwamu. Ikhlaskan segalanya, jangan berhenti untuk terus berdzikir padaNya. Ayah dan bunda tidak pergi nak, namun hanya berpindah raga. Dialah yang memintanya. Jaga diri dan kehormatanmu, kejarlah mimpi-mimpimu nak, buktikan pada dunia bahwa kamu mampu tuk meraihnya. Ayah dan bunda sangat mencintai dan merindukanmu. Maafkan bunda sayang... ”. kata-kata itu membuat bibir Zafira terkatup sepi, energi jiwanya seakan hilang, rapuh terpisah, kekuatannya seketika terlepas dari raga. Dia terjatuh, terpekur dan tak sadarkan diri.

“Dalam diam aku berpuisi tentang rindu yang tak lagi tergenggam oleh mimpi, angin telah membawa kedua malaikatku terbang dengan sayap cintaNya menuju singgahsana syurga ”

Sabtu, 18 April 2009

Pudarnya Budaya Santri

" Akankah kita merasa bahwa mahkota suci kita sebagai seorang santri telah ternodai budayanya….?"
" Akankah kita berfikir bahwa tali pengikat kita mulai renggang kesatuan dengan hal yang mutlak untuk kita semayamkan dalam diri…?"
" Dan adakah kemauan bagi kita untuk memulihkan kembali penyakit yang saat ini mulai merambat dan melayap tubuh kesantrian kita…?"

Kultur budaya yang semakin hari semakin beragam memberi dampak negatif terhadap perubahan zaman. Secara longgar, hal ini dianggap sebagai permasalahan mendasar yang harus kita amati dalam alur kehidupan. Berbicara tentang budaya mengingatkan kita pada nenek moyang kita yang telah banyak mewariskan kebudayaan baik kebudayaan dalam segi universal dan kebudayaan dalam segi signifikan. Budaya merupakan hal terpenting dan fundamental yang berperan besar bagi kehidupan serta menyangkut banyak hal tentang perilaku, nilai dan kesadaran manusia. Namun, dengan bergesernya waktu nilai-nilai mutlak suatu budaya mulai pudar. Sehingga penyebabnya mengenai pada jiwa manusia yang terikut dalam perubahannya dan dengan sendirinya mental manusia pun terkena pengaruhnya. Apalagi di era yang dikuasai oleh teknologi, selain memiliki segi-segi positif juga memiliki sisi-sisi negatif, akibatnya menimbulkan perubahan kondisi manusia yang seharusnya berpatokan pada nilai mutlak kebudayaan.
"kegamangan manusia muncul akibat benturan nilai-nilai teknologi modern dengan nilai-nilai tradisional. Terjadilah gesekan antara kebudayaan "asli" dengan kebudayaan "asing" yang bisa saja menyebabkan perubahan orientasi budaya menimbulkan dampak terhadap tata nilai masyarakat ( Buku Teori dan Konsep Ilmu Budaya, M. Arifin Hakim )". Dalam kalimat di atas telah jelas dipaparkan bahwasanya keraguan manusia terhadap kemajuan yang telah diciptakannya sendiri yang disebabkan oleh kontraversi antara nilai-nilai teknologi dengan tradisional. Sehingga mengakibatkan orientasi kehidupan manusia berdampak pada nilai norma yang telah ada sebelumnya.
Fakta yang ada, apabila kita lebih jeli memandang ke arah sekitar kita, kita akan merasakan dengan sendirinya sesuatu hal mutlak yang harus ada pada jiwa manusia bertentangan dengan lingkungan yang kita tempati. Seperti halnya budaya seni yang mulai punah kelestariannya, contoh konkritnya permainan wayang yang sudah tidak mendarah daging lagi dengan kesenian bangsa. Kemudian, kebudayaan asli bangsa kita yang mulai terjajah oleh budaya asing misalnya berupa pakaian, barang-barang rumah tangga, teknologi, makanan, alat transportasi serta banyak pula lainnya. Namun yang paling memerihkan bagi jiwa bangsa adalah moral masyarakat yang dengan perlahan-lahan mengikuti gaya hidup atau perilaku bangsa barat serta menyebabkan hilangnya jati diri bangsa yang sesungguhnya. Kita tidak usah melihat pada sesuatu yang umum tentang kebudayaan bangsa untuk dipermasalahkan dan diperbincangkan. Coba lihat dan teliti di mana sekarang kita tinggal seraya meraup ilmu pengetahuan, Inilah topik utama yang ingin dikupas dengan jelas menurut batasan pengetahuan yang saya miliki "PUDARNYA BUDAYA SANTRI".
"SANTRI !!!". Kata ini tidak asing terdengar di telinga kita. Kalau kita mendengar atau menemukan kata santri, yang ada di otak kita adalah sesuatu yang berhubungan dengan segala sesuatu yang identik dengan hal-hal berbahu agama dan sangat erat kaitannya dengan syariat-syariat hukum di dalamnya. Misalnya, disetiap perilaku atau tingkah laku sehari-hari pasti berlandaskan dengan syariat agama yang ada, cara beribadah, beramal serta ritual-ritual lainnya yang minoritas sekali dijalankan oleh masyarakat luar alias nonsantri. Tahun-tahun sebelumnya masyarakat banyak berpendapat bahwa seorang santri identik dengan sifat yang enggan berbaur dengan dunia luar, identik pula dengan orang yang kurang informasi-informasi, seseorang yang kurang memperoleh pengetahuan umum namun berlebihan dalam memperoleh pengetahuan agama. Sehingga, menyebabkan tidak rentannya terhadap perubahan yang terjadi di luar sana, sulit menerima budaya-budaya yang tidak selayaknya dimiliki oleh diri seorang santri. Dengan kata lain, terlalu berkomitmen menjalani kehidupan berasaskan ketentuan-ketentuan yang telah tercantum dalam kitab sucinya, pendek kata memiliki sifat fanatik terhadap sesuatu.
Namun kenyataannya, putaran roda waktu tak menjamin pendapat tersebut tetap terselubung dalam rel-rel pengikatnya akan tetapi menyebabkan semua berubah secara pelan nan halus. Pendapat-pendapat dahulu tidak lagi sama dengan fakta yang terjadi pada saat ini. Sudah tidak etis lagi jikalau santri dikomentari seperti pendapat di atas. Corak dan gaya hidup santri sekarang jauh berbeda dengan gaya hidup santri kuno, yang katanya santri dulu makan hanya dengan sedikit nasi berlauk garam namun santri sekarang makan banyak nasi berlauk friedchicken. Itu sedikit dari pada kebanyakan contoh lainnya. Dalam hal berpakaian, santri dulu menggunakan pakaian ala kadarnya/sederhana, memakai kain sarung serta baju-baju longgar yang tidak sama sekali membentuk badan. Berbeda dengan sekarang, yang sudah tidak bergengsi (dalam bahasa kita "enggak gaul coy") menggunakan pakaian-pakaian seperti itu, malah yang nge-tren baju-baju berkain tipis atau terawang dan apabila dikenakan pada tubuh, membentuk lekuk-lekuk tubuh yang indah yang sering mengundang hawa nafsu syahwat para lelaki jalang untuk menjamahnya "Na'udhubillahi min dhalik".
Mungkin penjelasan paragraf sebelum ini tidak terlalu menjadi permasalahan bagi masyarakat kebanyakan. Namun, yang menjadi permasalahan utama adalah perubahan moral serta nilai-nilai kesantrian ( budaya kesantrian ) yang mulai memudar. Pengaruh budaya-budaya pendatang/baru terhadap santri ternyata bukan hanya berpengaruh pada perubahan corak dan gaya hidup santri melainkan berdampak negatif terhadap perilaku moral para santri. Lihat saja di lapangan, pengguna napza dan peminum khamar bukan lagi para preman yang sering bertempat di pinggir-pinggir jalan atau diskotik misalnya. Pelaku seksual yang belum pantas dilakukan oleh seseorang di luar nikah tidak lagi terjadi pada anak-anak nakal dan jahil. Namun, terjadi pula pada para santri, hal yang begitu tabu untuk menjadi sorotan utama. Istilahnya, sedikit perbedaan antara masyarakat luar dengan santri, hanya dibedakan dalam hal menetap atau tempat tinggal. Kalau santri menetap di asrama pondok sedangkan masyarakat luar bertempat tinggal di rumah sendiri. Sebenarnya, kalau membahas tentang pudarnya budaya santri tidak akan pernah habis topik yang akan dibicarakan.
Di zaman sekarang, tidak menjamin seorang santri memiliki moral yang baik dan benar dan tidak menjamin pula kehidupannya suci akan kerusakan-kerusakan nilai dan moral kemanusiaan. Namun, yang menjamin adalah iman dari pada santri itu sendiri yang bisa membawa pada kehidupan berdasarkan pada syariat dan hukum Islam. Memang, adanya perubahan memberikan dampak positif terhadap psikologis dan perkembangan intelektual santri. Akan tetapi, berdampak negatif pula pada moral dan budaya kesantrian para santri.
Konklusi dari deretan paragraf di atas adalah bahwa dengan maraknya ajang teknologi yang makin bergengsi seperti saat ini mempunyai dampak positif dan negatif terhadap budaya kesantrian kita. Namun, yang sangat mempengaruhinya tergantung pada diri kita sendiri dalam menyikapi hal tersebut. Kalau kita tetap berpegang teguh pada syariat-syariat yang telah ada, insya Allah berubah bagaimana pun keadaan sekitar kita, kita akan tetap berada dalam naungan payung islamiyah.




Hasil dari polling pendapat para santriwan-santriwati dalam menanggapi seputar persoalan budaya.


1. Menurut pengamatan anda, apakah budaya kita lebih didominasi oleh budaya asing?
a. Ya = 15 %
b. Tidak = 15 %
c. Tidak tahu = 1 %


2. Sebagai seseorang yang menyandang profesi santri apakah anda merasa bahwa budaya mutlak kesantrian kita mulai memudar seiring bergesernya waktu?
a. Ya = 28 %
b. Tidak = 3 %
c. Tidak tahu = 0 %


3. Apabila suatu saat anda berada di lingkungan yang jauh berbeda seperti saat ini apakah anda akan tetap menanamkan jiwa kesantrian dalam diri anda?
a. Ya = 19 %
b. Tidak = 1 %
c. Tidak tahu = 11 %


Ehm…. Kawan-kawan !!! terbukti kan bahwa budaya kita sudah mulai hilang dari cermin wajah kesantrian kita selama ini. Mungkin sebagian dari kita tidak merasakan perubahan tersebut. Tapi, bagi mereka yang sangat memperhatikan keadaan sekitarnya akan sangat merasakan perubahan itu….maka dari itu, marilah kita benahi diri kita masing-masing apa sebenarnya yang membuat kristal berharga mahkota kita ternodai kesucian akan budayanya…sungguh memilukan apabila kita tidak menghiraukan perubahan tersebut dan enggan membenahi menuju lebih baik…
Ayolah !!! sinsingkan lengan keinginan kita, mantapkan niat, dobrak tali ikatan syatani yang melingkar pada jiwa suci kita , bunuh segala hal yang buruk yang mendiami diri serta memohon keridhoanNya… mari kita lakukan itu bersama mulai detik, menit, dan hari ini ok…!!!

Jumat, 10 April 2009

At 16.30 p.m
Aku adalah cinta yang selalu menepi
Diam di antara cinta-cinta lain
Yang selalu tersenyum tulus
Dengan kebanggan yang dimilki
Tapi berbeda dengan cintaku
Hanya tersenyum pasrah ketika cinta lain membungkam mahkota
Tapi,,, dengan cintakulah
Kudapat menatap hamparan dunia
Mentegarkan hati cinta di balik kerapuhan
Simbol jiwa cinta…
Adalah sebuah kesadaran murni
Terlahir dari pada embun-embun pagi
Yang telah penggenggam hati
Anugerahkan untuk bagian hidup cinta
Suatu ambisi terus meneguhkan
Akan kerasnya hidup ini
Karena,,, cinta haruslah tetap berjalan
Walau pada tanah berkerikil tajam
At 17.p.m
Senja…
Anganku begitu mencuat
Dari dasar lisa hati berbisik
Menelusup…
Hingga ke sudut-sudut lubang jiwa yg tersembunyi

Harapku begitu besar
Pada mercusuar asa
Yang menjulang tinggi tak berujung
Atom peninggal bekal
Masih seumur biji kismis

Mampukah keulahirkan
Lebih banyak lagi bijian
Dari pada kismis-kismis
Tak bernilai emas itu???
Abaut some one in the darkness

Salahkah,,,???
Bila kupeluk angin tanpa wujudnya
Bila kugenggam tanah tampa lapuknya
Bila kupandangi langit tanpa kebiruannya
Dalam maskau…
Ingin menyelami tanpa ada kata mengalami
Namun, kerapuhan masa menghapus yang ada
Ketika pendakianku terhenti sejenak
Menatapi puncak kebingungan
Yang mengrogoti rahang otakku
Sampai kapan pun…
Kepulan asap harapan itu
Inginnya tetaplah ada pada wadahnya
Walau beribu tanya menghempasku
Tuk robohkan puing-puing keteguhan
Selama ini aku hujamkan dalam jiwa
Hanya waktu yang bertahta
At 10.30 p.m

Di sudut ruang kosong berselimut debu
Bongkahan hati terasa hampa
Terkapar dalam gemulai ketidakpastian
Merengreng rasa yang telah beku
Coba tuk bengkitkan gairah jiwa
Yang nampak hanya lorong gelap bertahta
Tak sedikitpun temaram cahya menenggelam
Coba tuk tata kembali puing-puing angan terlantar
Enggan pergi, namun secercah sinar menghalangi
Wajah ini hanya dapat tertunduk lesu
Meratapi ceimin jiwa yang retak
Dengan rasa kasih…
Kucoba punguti satu persatudalam genggaman
Walau menggores puncak aliran darahku
Hingga batas waktu…
Diri ini akan tetap menanti sebuah rindu dalam bingkai persahabatan

Kamis, 09 April 2009

At 07.45 a.m

Entah…
Pelangi jiwa ini
Tak pernah enggan memudar
Walau dalam sekejap mata
Ia selalu hadir…
Dan terus melukis warna-warni tintanya
Dalam kanvas hari-hariku
Dan sampai detik ini
Masih menampakkan anggunnya polesan warna
Pada istana jiwaku yang tergantung di ujung semesta