Pages

Minggu, 18 Oktober 2009

RINDU TAK TERGENGGAM

Zafira !!!, sebuah bunga yang baru saja ranum dari sebuah pasangan cinta kedua insan yang telah berbingkai ikatan suci selama 37 tahun lamanya. Ranumnya membuahkan kehormatan yang begitu indah dibanding bunga-bunga lainnya. Keluhuran hati adalah mahkota berharga dalam hidupnya. Kesahajaan dalam bersikap merupakan tangkai penopang menjadi pribadi sejati. Keteguhan dalam berpegang terhadap komitmen adalah senjata ampuh memekarkan optimisme menatap hidup dengan keyakinan. Itu semua dia dapatkan dari hasil tempaan sebuah pondok pesantren kecil di pinggir kota yang hamper 7 tahun lamanya dia bersemayam di balik keberkahan ilmu dengan keikhlasan dan kelapangan.
Cinta !!!, yang membuat Zafira selalu berjiwa lapang dengan keadaanya. Keadaan yang mungkin tiap jiwa enggan menerima , merasakan bahkan menjelmakan dalam kodratnya. Dengan keterbatasan hidup yang menjadi statusnya, tak sedikitpun membuat dia goyah dengan keyakinan. Tak secuilpun celah dia ingin menghapus mimpi-mimpi yang telah ditasbihkan di setiap sujud-sujud malamnya. Dan tak seseganpun menoktahkan titik keteguhan yang telah dia tanam sejak dini, dia pupuk dan dia rawat hingga keteguhan itu tumbuh menjadi sebuah tanaman indah dan menyatu erat dalam jiwanya. Yakni cintanya kepada yang menciptakannya, cintanya kepada kekasih yang menganugerahkan cinta padanya dan cintanya kepada dua manusia yang menjelma malaikat dalam hidupnya, semuanya terlalu naïf baginya untuk mendustakan cinta yang membuat dia tak akan merasakan nikmatnya rasa bersyukur pada yang Maha Cinta.
“sohibuz Zafira almukarromah min dhairoti Jombang laqodh naalat assuratu min ‘ailatiha haalan, syukron !”. Begitu pengurus pondok pesantren tersebut memanggil santrinya dengan berbahasa arab dan inggris apabila ada kepentingan. Seperti menerima paket atau bingkisan dari keluarga, dikunjungi oleh orang tua dan kepentingan-kepentingan lainnya. Mendengar panggilan itu, Zafira spontan terbangun dari lelapnya alam di bawah sadar. Menghidupkan kembali energi jiwanya yang sempat mati sebab lama menanti hadirnya sepucuk surat dari kedua malaikat tercinta yang menurut dia terlampau lama. Membarakan api kerinduan yang tak bisa diukur oleh ukuran apapun. Mendidihkan nurani yang sesak memendam keinginan untuk lekas menatap dan membaca goresan tinta hati yang penuh cinta kasih dari kedua insan yang menurutnya adalah orang yang sangat berharga dalam hidupnya. Sebuah surat yang menjadikan jiwanya menjadi semakin bergelora meniti titian hidup ini. Baginya dengan selembar kertaslah yang hanya bisa meluruhkan rasa rindu antara dia dan orang tua terkasih. Sangat berarti walau hanya dengan bertatapan jiwa dengan goresan-goresan penuh makna.
Rasa haru dan bahagia terlukis jelas di raut wajah uniknya. Bagaimana tidak?, yang semestinya tiap 6 bulan sekali secara kontinyu dia menerima surat dari kedua malaikat dalam hidupnya. Sejak menginjak usia 7 tahun dia berdiam di tempat sucii tersebut ayah dan bundanya tak lagi menepati kebiasaan mengirim dan membalas tulisan-tulisan penuh jelmaan hati berisikan cinta dan kasih sayang. Sangat membuat Zafira gelisan dan resah memikirkan keadaan ayah bunda di kampung leluhurnya. Dan hari itu, perasaan khawatir dan cemas seketika lebur termakan bongkahan-bongkahan kebahagiaan yang menyebar dalam ruang hati. Ucapan syukur Alhamdulillah pada yang menciptakannya tak henti-henti ia lantunkan. Adalah wujud rasa terima kasih padaNya yang telah memeluk percikan-percikan doa yang tak pernah lengah ia hembuskan di setiap nafas ibadahnya. Secepat kilat dia buka bingkisan berisi surat itu dengan penuh gelora kebahagiaan. Dengan basmalah dia memulai membacanya namun, setelah dua baris dari kalimat yang ia baca, dengan mengerutkan dahi lapangnya bermaknakan keheranan yang terbias di pikiran Zafira. Ternyata yang tertera di barisan huruf-huruf itu mengatakan bahwa surat tersebut datangnya bukan dari kedua malaikat yang ia sangka melainkan dari paman kakak dari bunda tercinta. Paman Zafira memberitahu bahwa ayah bundanya tak sempat menulis bahkan mengirim surat untuk dia karena kesibukan mengurusi hajatan keluarga sekitar rumah dan kesibukan mencari nafkah menghidupi keluarga.
Menjadi tanda tanya besar dalam benak Zafira. Mengapa baru kali ini kedua malaikatnya mentitahkan orang lain mengirim balasan surat-surat Zafira yang telah lama tak ada jawaban dan tiba-tiba di saat seperti ini, di penghujung masa Zafira menimba ilmu di pesantren keanehan itu hadir. Bayangan-bayangan kekhawatiran menari-nari dalam pikiran Zafira namun, ia berusaha untuk menepisnya. Dia hanya bisa husnudhon dengan semua itu.
Malam menghinggap di peraduan bulan. Mendendangkan nyanyian sunyii senyap menyatu seutuhnya dengan kegelapan. Sepertiga malam menandakan tangan-tangan Tuhan berterbangan di penjuru semesta mencari hamba-hamba yang terlelap dalam kekhusuan dzikir berlinang air mata. Zafiralah salah satu hambaNya yang selalu mengadukan keluh kesah hidup padaNya. Karena baginya tak ada satupun wadah yang rela menampung air-air permohonan atas hasrat dan kegelisahan. Sejak kejadian siang hari tadi membuat pikiran Zafira kacau. Dia merasa ada yang janggal dengan keadaan hatinya. Dia juga memikirkan nasibnya yang akan secepatnya mengikuti tes ujian akhir pondok dan seleksi beasisiwa untuk kuliah dii Universitas Al-azhar Kairo, Mesir. Di lain itu dia harus bisa meraih asa yang telah lama dia rangkai demi dia dan kedua malaikatnya. Ambisinya memuncak, berhasrat membuat gugusan bintang-gemintang di langit menjadi lebih indah dan penuh makna bukan hanya untuk dirinya namun juga orang lain tentunya. Dia ingin segala ilmu yang telah ia peroleh kurang lebih 8 tahun lamanya tak sekedar hinggap lalu pergi entah kemana. Berharap pengorbanannya untuk meninggalkan kampung halaman sejak berumur 10th hingga saat ini dengan penuh keikhlasan dan kesabaran membuahkan arti begitu nyata dalam hidup. Semua itu ia lakukan bukan untuk siapa, melainkan untuk dihadiahkan kepada dua malaikat tercinta. Tentang kasih sayang, kesabaran, keikhlasan dan keridhoan Tuhan dengan kesuksesan yang ingin dia raih kelak menjadikan tombak penentu jati diri yang sebenarnya. Air mata Zafira tak hentinya mengalir membasahi seluruh luapan kesedihan. “Robbi… sesungguhnya hidupku, matiku dan segala impianku dalm hidup ini kupasrahkan semuanya padaMu. Jangan jadikan aku orang hamba yang jauh dari rahmat dan penglihatanMu. Semoga hati ini akan terus menengadah padaMu ”. bisikan zafira di akhir pengaduannya.
7 bulan telah dia langkahi dengan penuh keyakinan dan keihkhlasan. Titik penghujung penentuan kelanjutan studinya telah berbicara. Puji syukur pada yang Maha Mendengar adalah hal paling utama bagi Zafira. Akhirnya dia dinobatkan sebagi santri teladan di marhalahnya. Dan dia lolos dalam seleksi beasiswa kuliah ke Al-azhar Mesir. Kegembiraan tak dapat ia sembunyikan dari pandangan jiwa-jiwa sekelilingnya. Dia dihujani ucapan selamat dan sukses atas prestasi yang dia raih dari kawan-kawannya. Tuhan telah memeluk mimpi-mimpi Zafira dengan cinta. Yang ada dalam benak zafira saat itu adalah berhasrat untuk lekas meninggalkan pesantren dan kembali ke kampung halaman mengabarkan kesuksesan yang telah ia genggam dari hasil jerih payah selama 8 tahun lamanya. Menumpahkan cawan kerinduan yang telah memuncak kepada ayah dan bunda tercinta. Memeluk erat dan mendekap di pangkuannya. Ia ingin menatap nyata senyuman-senyuman bermaknakan kebanggan atas dirinya. Bersujud penuh hormat kepada kedua malaikat yang telah ia tinggalkan demi ilmu dan masa depan.
Setelah berpamitan kepada seluruh kawan, pengurus, guru-guru serta Pak Kyai dan Ibu Nyai pemilik pesantren itu dia melangkahkan kedua kakinya dengan penuh rasa enggan. Dia tak akan pernah melupakan kenangan-kenangan pahit maupun manis yang dia alami di pesantren yang telah membuat dirinya menemukan mutiara ilmu. Berharap dengan sangat berbagai ilmu dan pelajaran hidup yang telah ia telan selama 8 tahun lamanya tak akan sia-sia begitu saja. Dengan doa dan pengaharapan ia meninggalkan pondok pesantren tercinta.
Bau tanah kampung leluhur menyergap penciuman Zafira. Menambah sesak jiwa meredam kerinduan yang tek terkira. “saatnya menganugerahkan hadiah kesuksesan itu untuk ayah dan bunda” bisik Zafira pelan namun penuh arti. Namun, menurutnya perjalanan itu belumlah terhenti sampai di sini melainkan masih banyak jembatan-jembatan hidup terbentang yang harus dia lewati dengan kesabaran. Jantungnya berdegup kencang ketika berdiri di depan rumah yang menjadi saksi bisu lahirnya ke dunia. Namun suasananya sangat berbeda denga suasana awal pertama dia akan menuju ke pesantren. Keanehan itu hadir kembali. Dia heran mengapa rumahnya tampak sepi tak berpenghuni dan di sekelilingnya diramaikan oleh tumbuh-tumbuhan menjalar tak beraturan. Jantungnya semakin berdetak kencang, dia dihinggapi rasa takut yang entah dari mana datangya. Tak lama kemudian seorang kakek tua menghampirinya. “assalamu’alaikum, ini betul Nak Zafira putri Bapak Ahmad bukan?” tanya kakek tua dengan nada suara terbata-bata. “wa’alaikumsalam, ya kek benar saya baru lulus dari pesantren. Kalau boleh tahu mengapa rumah saya tempak sepi dan tak berpenghuni. Memangnya ayah dan bunda saya kemana? Pindah rumah atau...? ” sebelum Zafira melanjutkan omongannya, kakek tersebut memotong pembicaraan dan menjulurkan sepucuk surat pada Zafira. “surat dari siapa kek? Ayah dan bunda tinggal di mana sekarang?” kekhawatiran Zafira begitu tampak di wajahnya. Kakek itu tak sampai hati melihat Zafira begitu cemas. Tapi, walau bagaimanapun dia harus mengatakan yang sebenarnya terjadi. “baca saja surat itu nak. Bundamu menitipkannya ketika di ujung usianya. Ayahmu telah tiada 1 tahun yang lalu dan 6 hari setelahnya bundamu menyusul. Mereka berdua sama-sama terkena serangan jantung. Dia hanya menitipkan sepucuk surat itu dan sedikit warisan di Pak Lurah. Sengaja kau tidak dikabari karena takut menganggu aktivitas belajarmu. Ikhlaskan kepergian mereka, sabar dan pasrah Nak Zafira, tawakkal padaNya, semuanya Dialah yang mengatur, kakek pamit dulu, assalamu’alaikum”. Mendengar perkataan kakek tua itu Zafira hanya bisa berdiri kaku, diam membisu serasa ada yang mencekat di rahangnya. Jantungnya kembali berdegup lebih dahsyat darii sebelumnya. Keringatnya bercucuran, air matanya berderai. Dia merasa dunia yang awalnya memberikan cahaya gemerlap untuk masa depannya kelak seketika berubah menjadi gelap pekat. Kebahagiaanya luntur, harapannya musnah, baginya kesuksesan itu tiada berarti apa-apa. Dia hanya bisa pasrah dan ikhlas setelah membaca surat dari bundanya yang berisi “ Ananda Zafira terkasih, pandangilah bintang gemintang yang menggelepar di cakrawala lalu ambillah satu diantaranya untuk kau jadikan penerang hati dan jiwamu. Ikhlaskan segalanya, jangan berhenti untuk terus berdzikir padaNya. Ayah dan bunda tidak pergi nak, namun hanya berpindah raga. Dialah yang memintanya. Jaga diri dan kehormatanmu, kejarlah mimpi-mimpimu nak, buktikan pada dunia bahwa kamu mampu tuk meraihnya. Ayah dan bunda sangat mencintai dan merindukanmu. Maafkan bunda sayang... ”. kata-kata itu membuat bibir Zafira terkatup sepi, energi jiwanya seakan hilang, rapuh terpisah, kekuatannya seketika terlepas dari raga. Dia terjatuh, terpekur dan tak sadarkan diri.

“Dalam diam aku berpuisi tentang rindu yang tak lagi tergenggam oleh mimpi, angin telah membawa kedua malaikatku terbang dengan sayap cintaNya menuju singgahsana syurga ”