Pages

Sabtu, 18 April 2009

Pudarnya Budaya Santri

" Akankah kita merasa bahwa mahkota suci kita sebagai seorang santri telah ternodai budayanya….?"
" Akankah kita berfikir bahwa tali pengikat kita mulai renggang kesatuan dengan hal yang mutlak untuk kita semayamkan dalam diri…?"
" Dan adakah kemauan bagi kita untuk memulihkan kembali penyakit yang saat ini mulai merambat dan melayap tubuh kesantrian kita…?"

Kultur budaya yang semakin hari semakin beragam memberi dampak negatif terhadap perubahan zaman. Secara longgar, hal ini dianggap sebagai permasalahan mendasar yang harus kita amati dalam alur kehidupan. Berbicara tentang budaya mengingatkan kita pada nenek moyang kita yang telah banyak mewariskan kebudayaan baik kebudayaan dalam segi universal dan kebudayaan dalam segi signifikan. Budaya merupakan hal terpenting dan fundamental yang berperan besar bagi kehidupan serta menyangkut banyak hal tentang perilaku, nilai dan kesadaran manusia. Namun, dengan bergesernya waktu nilai-nilai mutlak suatu budaya mulai pudar. Sehingga penyebabnya mengenai pada jiwa manusia yang terikut dalam perubahannya dan dengan sendirinya mental manusia pun terkena pengaruhnya. Apalagi di era yang dikuasai oleh teknologi, selain memiliki segi-segi positif juga memiliki sisi-sisi negatif, akibatnya menimbulkan perubahan kondisi manusia yang seharusnya berpatokan pada nilai mutlak kebudayaan.
"kegamangan manusia muncul akibat benturan nilai-nilai teknologi modern dengan nilai-nilai tradisional. Terjadilah gesekan antara kebudayaan "asli" dengan kebudayaan "asing" yang bisa saja menyebabkan perubahan orientasi budaya menimbulkan dampak terhadap tata nilai masyarakat ( Buku Teori dan Konsep Ilmu Budaya, M. Arifin Hakim )". Dalam kalimat di atas telah jelas dipaparkan bahwasanya keraguan manusia terhadap kemajuan yang telah diciptakannya sendiri yang disebabkan oleh kontraversi antara nilai-nilai teknologi dengan tradisional. Sehingga mengakibatkan orientasi kehidupan manusia berdampak pada nilai norma yang telah ada sebelumnya.
Fakta yang ada, apabila kita lebih jeli memandang ke arah sekitar kita, kita akan merasakan dengan sendirinya sesuatu hal mutlak yang harus ada pada jiwa manusia bertentangan dengan lingkungan yang kita tempati. Seperti halnya budaya seni yang mulai punah kelestariannya, contoh konkritnya permainan wayang yang sudah tidak mendarah daging lagi dengan kesenian bangsa. Kemudian, kebudayaan asli bangsa kita yang mulai terjajah oleh budaya asing misalnya berupa pakaian, barang-barang rumah tangga, teknologi, makanan, alat transportasi serta banyak pula lainnya. Namun yang paling memerihkan bagi jiwa bangsa adalah moral masyarakat yang dengan perlahan-lahan mengikuti gaya hidup atau perilaku bangsa barat serta menyebabkan hilangnya jati diri bangsa yang sesungguhnya. Kita tidak usah melihat pada sesuatu yang umum tentang kebudayaan bangsa untuk dipermasalahkan dan diperbincangkan. Coba lihat dan teliti di mana sekarang kita tinggal seraya meraup ilmu pengetahuan, Inilah topik utama yang ingin dikupas dengan jelas menurut batasan pengetahuan yang saya miliki "PUDARNYA BUDAYA SANTRI".
"SANTRI !!!". Kata ini tidak asing terdengar di telinga kita. Kalau kita mendengar atau menemukan kata santri, yang ada di otak kita adalah sesuatu yang berhubungan dengan segala sesuatu yang identik dengan hal-hal berbahu agama dan sangat erat kaitannya dengan syariat-syariat hukum di dalamnya. Misalnya, disetiap perilaku atau tingkah laku sehari-hari pasti berlandaskan dengan syariat agama yang ada, cara beribadah, beramal serta ritual-ritual lainnya yang minoritas sekali dijalankan oleh masyarakat luar alias nonsantri. Tahun-tahun sebelumnya masyarakat banyak berpendapat bahwa seorang santri identik dengan sifat yang enggan berbaur dengan dunia luar, identik pula dengan orang yang kurang informasi-informasi, seseorang yang kurang memperoleh pengetahuan umum namun berlebihan dalam memperoleh pengetahuan agama. Sehingga, menyebabkan tidak rentannya terhadap perubahan yang terjadi di luar sana, sulit menerima budaya-budaya yang tidak selayaknya dimiliki oleh diri seorang santri. Dengan kata lain, terlalu berkomitmen menjalani kehidupan berasaskan ketentuan-ketentuan yang telah tercantum dalam kitab sucinya, pendek kata memiliki sifat fanatik terhadap sesuatu.
Namun kenyataannya, putaran roda waktu tak menjamin pendapat tersebut tetap terselubung dalam rel-rel pengikatnya akan tetapi menyebabkan semua berubah secara pelan nan halus. Pendapat-pendapat dahulu tidak lagi sama dengan fakta yang terjadi pada saat ini. Sudah tidak etis lagi jikalau santri dikomentari seperti pendapat di atas. Corak dan gaya hidup santri sekarang jauh berbeda dengan gaya hidup santri kuno, yang katanya santri dulu makan hanya dengan sedikit nasi berlauk garam namun santri sekarang makan banyak nasi berlauk friedchicken. Itu sedikit dari pada kebanyakan contoh lainnya. Dalam hal berpakaian, santri dulu menggunakan pakaian ala kadarnya/sederhana, memakai kain sarung serta baju-baju longgar yang tidak sama sekali membentuk badan. Berbeda dengan sekarang, yang sudah tidak bergengsi (dalam bahasa kita "enggak gaul coy") menggunakan pakaian-pakaian seperti itu, malah yang nge-tren baju-baju berkain tipis atau terawang dan apabila dikenakan pada tubuh, membentuk lekuk-lekuk tubuh yang indah yang sering mengundang hawa nafsu syahwat para lelaki jalang untuk menjamahnya "Na'udhubillahi min dhalik".
Mungkin penjelasan paragraf sebelum ini tidak terlalu menjadi permasalahan bagi masyarakat kebanyakan. Namun, yang menjadi permasalahan utama adalah perubahan moral serta nilai-nilai kesantrian ( budaya kesantrian ) yang mulai memudar. Pengaruh budaya-budaya pendatang/baru terhadap santri ternyata bukan hanya berpengaruh pada perubahan corak dan gaya hidup santri melainkan berdampak negatif terhadap perilaku moral para santri. Lihat saja di lapangan, pengguna napza dan peminum khamar bukan lagi para preman yang sering bertempat di pinggir-pinggir jalan atau diskotik misalnya. Pelaku seksual yang belum pantas dilakukan oleh seseorang di luar nikah tidak lagi terjadi pada anak-anak nakal dan jahil. Namun, terjadi pula pada para santri, hal yang begitu tabu untuk menjadi sorotan utama. Istilahnya, sedikit perbedaan antara masyarakat luar dengan santri, hanya dibedakan dalam hal menetap atau tempat tinggal. Kalau santri menetap di asrama pondok sedangkan masyarakat luar bertempat tinggal di rumah sendiri. Sebenarnya, kalau membahas tentang pudarnya budaya santri tidak akan pernah habis topik yang akan dibicarakan.
Di zaman sekarang, tidak menjamin seorang santri memiliki moral yang baik dan benar dan tidak menjamin pula kehidupannya suci akan kerusakan-kerusakan nilai dan moral kemanusiaan. Namun, yang menjamin adalah iman dari pada santri itu sendiri yang bisa membawa pada kehidupan berdasarkan pada syariat dan hukum Islam. Memang, adanya perubahan memberikan dampak positif terhadap psikologis dan perkembangan intelektual santri. Akan tetapi, berdampak negatif pula pada moral dan budaya kesantrian para santri.
Konklusi dari deretan paragraf di atas adalah bahwa dengan maraknya ajang teknologi yang makin bergengsi seperti saat ini mempunyai dampak positif dan negatif terhadap budaya kesantrian kita. Namun, yang sangat mempengaruhinya tergantung pada diri kita sendiri dalam menyikapi hal tersebut. Kalau kita tetap berpegang teguh pada syariat-syariat yang telah ada, insya Allah berubah bagaimana pun keadaan sekitar kita, kita akan tetap berada dalam naungan payung islamiyah.




Hasil dari polling pendapat para santriwan-santriwati dalam menanggapi seputar persoalan budaya.


1. Menurut pengamatan anda, apakah budaya kita lebih didominasi oleh budaya asing?
a. Ya = 15 %
b. Tidak = 15 %
c. Tidak tahu = 1 %


2. Sebagai seseorang yang menyandang profesi santri apakah anda merasa bahwa budaya mutlak kesantrian kita mulai memudar seiring bergesernya waktu?
a. Ya = 28 %
b. Tidak = 3 %
c. Tidak tahu = 0 %


3. Apabila suatu saat anda berada di lingkungan yang jauh berbeda seperti saat ini apakah anda akan tetap menanamkan jiwa kesantrian dalam diri anda?
a. Ya = 19 %
b. Tidak = 1 %
c. Tidak tahu = 11 %


Ehm…. Kawan-kawan !!! terbukti kan bahwa budaya kita sudah mulai hilang dari cermin wajah kesantrian kita selama ini. Mungkin sebagian dari kita tidak merasakan perubahan tersebut. Tapi, bagi mereka yang sangat memperhatikan keadaan sekitarnya akan sangat merasakan perubahan itu….maka dari itu, marilah kita benahi diri kita masing-masing apa sebenarnya yang membuat kristal berharga mahkota kita ternodai kesucian akan budayanya…sungguh memilukan apabila kita tidak menghiraukan perubahan tersebut dan enggan membenahi menuju lebih baik…
Ayolah !!! sinsingkan lengan keinginan kita, mantapkan niat, dobrak tali ikatan syatani yang melingkar pada jiwa suci kita , bunuh segala hal yang buruk yang mendiami diri serta memohon keridhoanNya… mari kita lakukan itu bersama mulai detik, menit, dan hari ini ok…!!!

Jumat, 10 April 2009

At 16.30 p.m
Aku adalah cinta yang selalu menepi
Diam di antara cinta-cinta lain
Yang selalu tersenyum tulus
Dengan kebanggan yang dimilki
Tapi berbeda dengan cintaku
Hanya tersenyum pasrah ketika cinta lain membungkam mahkota
Tapi,,, dengan cintakulah
Kudapat menatap hamparan dunia
Mentegarkan hati cinta di balik kerapuhan
Simbol jiwa cinta…
Adalah sebuah kesadaran murni
Terlahir dari pada embun-embun pagi
Yang telah penggenggam hati
Anugerahkan untuk bagian hidup cinta
Suatu ambisi terus meneguhkan
Akan kerasnya hidup ini
Karena,,, cinta haruslah tetap berjalan
Walau pada tanah berkerikil tajam
At 17.p.m
Senja…
Anganku begitu mencuat
Dari dasar lisa hati berbisik
Menelusup…
Hingga ke sudut-sudut lubang jiwa yg tersembunyi

Harapku begitu besar
Pada mercusuar asa
Yang menjulang tinggi tak berujung
Atom peninggal bekal
Masih seumur biji kismis

Mampukah keulahirkan
Lebih banyak lagi bijian
Dari pada kismis-kismis
Tak bernilai emas itu???
Abaut some one in the darkness

Salahkah,,,???
Bila kupeluk angin tanpa wujudnya
Bila kugenggam tanah tampa lapuknya
Bila kupandangi langit tanpa kebiruannya
Dalam maskau…
Ingin menyelami tanpa ada kata mengalami
Namun, kerapuhan masa menghapus yang ada
Ketika pendakianku terhenti sejenak
Menatapi puncak kebingungan
Yang mengrogoti rahang otakku
Sampai kapan pun…
Kepulan asap harapan itu
Inginnya tetaplah ada pada wadahnya
Walau beribu tanya menghempasku
Tuk robohkan puing-puing keteguhan
Selama ini aku hujamkan dalam jiwa
Hanya waktu yang bertahta
At 10.30 p.m

Di sudut ruang kosong berselimut debu
Bongkahan hati terasa hampa
Terkapar dalam gemulai ketidakpastian
Merengreng rasa yang telah beku
Coba tuk bengkitkan gairah jiwa
Yang nampak hanya lorong gelap bertahta
Tak sedikitpun temaram cahya menenggelam
Coba tuk tata kembali puing-puing angan terlantar
Enggan pergi, namun secercah sinar menghalangi
Wajah ini hanya dapat tertunduk lesu
Meratapi ceimin jiwa yang retak
Dengan rasa kasih…
Kucoba punguti satu persatudalam genggaman
Walau menggores puncak aliran darahku
Hingga batas waktu…
Diri ini akan tetap menanti sebuah rindu dalam bingkai persahabatan

Kamis, 09 April 2009

At 07.45 a.m

Entah…
Pelangi jiwa ini
Tak pernah enggan memudar
Walau dalam sekejap mata
Ia selalu hadir…
Dan terus melukis warna-warni tintanya
Dalam kanvas hari-hariku
Dan sampai detik ini
Masih menampakkan anggunnya polesan warna
Pada istana jiwaku yang tergantung di ujung semesta