Pages

Rabu, 20 April 2011

Issues:Hijab

The author of article: B. Syed, Ph D
The sources of article: www.irfi.org



(head cover) for Muslim women is not mandated in the Qur’an. If it is,
it is only the subjective interpretation of an Ayah (verse) on the part
of the reader. Hence many Islamic Scholars say that according to Hadith,
a woman should cover her whole body, except her face and hands.
Majority of the Muslims do not know in which Haidth this is mentioned. A
very limited number of Muslims know that this is in Sunan Abu Dawud.
The English translation of Sunan Abdu Dawud is in three volumes. Again
nobody ever mentions that it is in Volume Three. Actually it is in
Volume 3, Book XXVII and Chapter 1535, and Hadith number 4092, titled
“HOW MUCH BEAUTY CAN A WOMAN DISPLAY?" For the benefit of the readers
the exact Hadith is reproduced below:
(4092) ‘A’isha said: Asma’, daughter of Abu Bakr, entered upon the
Apostle of Allah (May peace be upon him) wearing thin clothes. The
Apostle of Allah (peace be upon him) turned his attention from her. He
said: O Asma’, when a woman reaches the age of menstruation, it does not
suit her that she displays her parts of body except this and this, and
he pointed to her face and hands.3523
Abu Dawud said: This is a mursal tradition (i.e. the narrator who
transmitted it from ‘A’isha is missing) Khalid b. Duraik did not see
‘A’ishah).
[3523. When a woman reaches the age of puberty, she must observe purdah
and have a thick veil which conceals her beauty. She may unveil her face
and hand up to the wrists. In modern times some scholars have
prohibited to unveil face out of precaution.]

It is very interesting to note that no one- neither the Muslim Scholars
nor the Muslim Ummah ever pointed out that this Hadith is a m u r s a l
Hadith or weak hadith, although it is imperative that when one uses a
weak Hadith for any reason then one should explain it to the people that
this is a weak Hadith. What is a mursal hadith? First of all what is
Hadith?
Hadith is an Arabic word, which in its real sense means a tale, speech,
chat, conversation or communication. In a technical sense, Hadith or
Tradition means all the sayings, deeds, decisions of Prophet Muhammad
(pbuh), and his silent approval of the behavior of his companions and
descriptions of his personality. Each Hadith is prefaced by a chain of
narrators called Al-’Isnad. Al-’Isnad was the chain of people through
whom the Hadith was transmitted. The second part of the Hadith is
Al-Matn, the content, which reports the teaching or the incident. Every
Hadith or Tradition must have a chain (‘Isnad) as well as the Text
(Matn).
There are three main categories of the Hadith called (1) As-Sahih or the
Authentic Hadith (2) Al-Hasan or the Good. Some of its narrators have
been found to have a weaker memory in comparison to the narrators of
Sahih Hadith, and (3) Ad-Da’if or the Weak. This refers to that
Tradition in which there is some problem in either the chain of
transmission, in the proper understanding of the transmitter or in its
contents, which may be in disagreement with Islamic belief and practice.


Ad-Da’if Traditions are further divided according to the degree of
problems with their reporters (ruwaat) or in the text (Al-Matn) of the
reports. A few of these divisions are as follows:
a) Al-Mursal: A Hadith in which a Tabi'i (those who succeeded the
Sahabah or companions of the Prophet (pbuh) transmits from Rasulullah
(pbuh) directly, dropping the Sahabi from the ‘Isnad.
b) Al-Munqati: A Hadith going back to the Tabi’i only.
c) Al-Mu’dal: A Hadith in which two continuous narrators are missing in
one or more places in the ‘Isnad.
d) Al-Mu’allaq: A Hadith in which one or two transmitters are omitted in
the beginning of the ‘Isnad.
In Shari’ah or Islamic Law only the authentic (sahih) and good (hasan)
Ahadith (plural of Hadith) are used in deriving the rules. The weak
(da’if) Ahadith have no value for the purpose of Shari’ah.
As stated above that Imam Abu Dawud himself said that this is a mursal
tradition (i.e. the narrator who transmitted it from ‘A’isha is
missing). What I interpret is that the narrator of this Hadith is Khalid
b. Duraik who did not see 'A'ishah (Radhi Allahu Anha (May Allah be
pleased with her)). As this is a weak Hadith, it has no value for the
purpose of Shari’ah, that means no Muslim or Islamic Republic or
government can pass laws punishing a Muslim woman who does not observe
Hijab, particularly covering the hair on their head. This is not being
practiced in the so-called Islamic countries where religious police are
threatening Muslim women who do not observe Hijab, with their canes.

I have all along maintained in my arguments that Islam emphasizes on
modesty in the dress of Muslim women, but no where it mandates the
wearing of Hijab (head cover). As a matter of fact modesty in dress is
also required on the part of the Muslim men.
In the matter of hijab, the conscience of an honest, sincere Believer
alone can be the true judge, as has been said by the Noble Prophet: "Ask
for the verdict of your conscience and discard what pricks it."
Islam cannot be properly followed without knowledge. It is a rational
law and to follow it rightly one needs to exercise reason and
understanding at every step.


Review Article of “Tradition Class” on the Title: “issues:Hijab”

Sejauh ini, persoalan tentang hijab bagi seorang wanita menjadi persoalan krusial, khususnya bagi seorang muslimah. Bagaimana tidak? Banyak orang berpendapat bahwa hijab (penutup aurat) bagi perempuan muslim tidak diamanatkan dalam Al-Quran. Jika iya, itu hanyalah sebuah interpretasi subyektif dari para pembacanya. Oleh karena itu banyak ulama islam mencari sumber lainnya melalui Al-Hadits. Al-l hadits yang menjelaskan seorang wanita harus menutupi seluruh tubuhnya, kecuali wajah dan tangan.
Selanjutnya di kalangan muslim, timbullah sebuah perdebatan antara kebenaran Al-Quran dan Al Hadits. Spesifikasinya adalah Al-Hadits yang menjelaskan tentang hijab tersebut. Sebagian besar muslim tidak tahu persis posisi hadits tersebut. Posisi yang mengacu kepada tingkat status hadits. Status tertinggi adalah kesahihan. Keterbatasan orang islam mengetahui hadits tersebut hanya ada dalam Sunan Abu Daud. Terjemahan buku Sunan Abu Daud dalam 3 jilid, berbahasa inggris. Tepatnya di buku XXVII, bab 153, dan nomor hadits 4092, berjudul “Seberapa batasa batasan kecantikan yang boleh ditampakkan dari seorang wanita?.”
Dalam buku yang ditulis oleh Sunan Abu Daud di hadits 4092 diceritakan; ‘Aisyah berkata kepada Asma’, putri Abu Bakar, masih berkeluarga dengan Rasulullah, ketika ia mengenakan pakaian tipis. Rasulullah SAW mengalihkan perhatian darinya. Dia (Rasulullah SAW) berkata: ketika seorang wanita mencapai usia menstruasi, tidak pantas baginya menampilkan bagian-bagian tubuhnya kecuali ini dan ini (Beliau menunjuk wajah dan tangan Asma’) .
Pendapat Abu Daud tentang hadits di atas ialah hadits mursal. Dan hadits mursal itu sendiri adalah kategori hadits yang tidak memiliki nilai untuk tujuan syariat. Istilah lainnya, tidak ada Republik Islam atau sekelompok muslim yang berhak menghukum seorang wanita yang tidak memperhatikan hijabnya. Bagi kita, para cendekiawan muslim akan heran mendengar hadits itu tak memiliki nilai dalam syariat yang benar. Sebab sejauh ini kita tahu bahwa hijab bagi seorang wanita merupakan hal yang sangat fundamental. Kendati pun hadits itu mursal (rusak) ataupun dhaif (lemah), Al-Quran telah menjadi sumber yang kuat. Sumber atas anjuran untuk memperhatikan hijab bagi seorang wanita. Lantaran Al-Hadits hanyalah mubayyin (penjelas) dari Al-Quran.
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (Qs. An-nur/24:31)
Untuk membedakan apa itu hadits mursal dan sahih; pengkategorian hadits mursal dan shahih itulah yang terpenting, Kita harus mengetahui lebih jauh tentang Ulumul Hadits.
Hadits adalah bahasa arab; arti sesungguhnya ialah kisah, ucapan, percakapan atau komunikasi. Dalam pengertian terminologi, hadits atau tradisi (kebiasaan) berarti semua perkataan, perbuatan, keputusan atau persetujuan Nabi Muhammad SAW; persetujuan dengan diam tentang perilaku sahabat dan deskripsi kepribadiannya.
Sebuah hadits terdiri dari Al-Isnad dan Al-Matn. Al-Isnad adalah rantai orang-orang yang meriwayatkan, atau sandaran periwayatan. Sedangkan Al-Matn adalah redaksi hadits atau isi, yang melaporkan pengajaran atau kejadian. Setiap hadits (tradisi) harus memiliki rantai (isnad) serta teks (matan).
Pengkategorian hadits terbagi menjadi tiga bagian utama. Pertama, hadits As-Shahih (hadits autentik). Kedua, hadits Al-Hasan (hadits baik). Ketiga, hadits Ad-Da’if (hadits lemah). Hadits Ad-Da’if dibagi sesuai dengan tingkat permasalahannya. Hal ini merujuk kepada hadits di mana ada beberapa permasalahan di dalam rantai transmisi; pemahaman dari segi isinya, ketidaksinambungan sanad, perselisihan dalam kepercayaan islam dan praktik. Beberapa devisi tersebut adalah sebagai berikut:
1. Al-Mursal: sebuah hadits yang ditransmisikan langsung dari Rasulullah (rusak).
2. Al-Munqati’: sebuah hadits yang kembali ke tabi’i saja (terpotong).
3. Al-Mu’dal: sebuah hadits yang dua periwayatnya tidak jelas di salah satu tempat atau lebih dalam isnad.
4. Al-Mu’allaq: sebuah hadits baik satu atau dua periwayatnya hilang di permulaan isnad.
Dalam syariat/hukum islam, hanya hadits sahih dan hasan-lah yang digunakan sebagai pedoman penentu kebenaran. Hadits dha’if tidak memiliki nilai dalam penentuan syariat/hukum islam, walaupun isi atau redaksi makna hadits tersebut mengandung kebaikan.
Kembali pada topik permasalahan tentang hijab bagi kaum wanita, khususnya seorang muslimah. Penulis artikel ini menyatakan bahwasanya kehadiran hadits tersebut berstatus mursal (periwayat yang ditransmisikan dari Aisyah hilang). Hadits yang tidak menguatkan bahwa ketidakpemerhati mereka atas hijab menyebabkan pelanggaran. Kemudian, hal tersebut juga tidak dipraktikkan di Negara-negara islam seperti halnya Saudi Arabia; tak ada perundang-undangan dalam Negaranya tentang ancaman wanita muslim yang tidak mematuhi hijab, dengan tongkat hukum mereka.
Penulis tersebut berargumen bahwa islam hanya menekankan pada kesederhanaan dalam pakaian wanita muslim, bukan pada mandat untuk mengenakan hijab, khususnya penutup kepala (jilbab); cenderung kepada kesadaran pribadi masing-masing. Sebagaimana telah disabdakan oleh Rasulullah SAW: “Mintalah putusan hati nurani kamu dan membuang apa yang menjadi gangguan”
Berbicara mengenai argumen setiap orang tak akan ada ujung penyelesaiannya.. Penyelesaian hanya akan diperoleh dengan relativitas. Karenanya, kita membutuhkan Al-Quran sebagai solusi penyelesaian atas sebuah permasalahan dalam kehidupan. Dan tak hanya sampai di situ, penafsiran Al-Quran harus dilakukan dengan keobyektivitasan dan empirisitas. Wallahu’alam..!

Kamis, 14 April 2011

“Aku Si Agent of Change di Masa Depan”


Perkembangan teknologi mempengaruhi peradaban dunia. Peradaban yang menuntut kemajuan di segala bidang dan aspek kehidupan. Paradigma kemajuan dalam pendidikan membuktikan adanya korelasi antara perkembangan teknologi dan pembangunan pendidikan yang melahirkan peradaban dunia. Saat ini teknologi tak hanya bungkam dalam satu ruang, banyak ruang dalam ranah kehidupan yang telah dikuasainya. Begitu juga Luasnya pengetahuan yang menjalari kehidupan, ia mampu meningkatkan kualitas oknum-oknum di medan pendidikan. Tak hanya dalam segi pengetahuan umum, namun juga dalam segi pengetahuan agama. Dua hal tersebut menjadi satu kesatuan bagi seseorang dalam menjalani hidupnya. Agar tercipta keseimbangan baik moril dan materiil. Tongkat estafet adalah sebuah istilah bagi para oknum yang bergelut dalam berkembangnya peradaban. Siapakah oknum yang mampu mengubah rentetan perkembangan demi perkembangan itu? Dialah “aku Si agent of change yang berpengaruh di masa depan.”

Agent of change merupakan sebuah dimensi kesungguhan. Dimensi yang menjelma dalam jiwa dan jati diri seseorang. Seseorang yang memiliki pemikiran luas di berbagai pengetahuan. Ide dan logikanya memliki energi kuat untuk merubah yang tak bernilai menjadi berharga dan dibutuhkan. Karakter ideal yang melekat kuat dalam dirinya, sehingga membentuk pribadi yang menyertai alur peradaban dunia. Kekukuhan dan kesetiaan mengenyam beragam ilmu yang mampu menjadikannya salah satu dari sekian banyak orang, dan mampu menduduki posisi orang berpengaruh dalam kebangkitan masa.

Ilmu pengetahuan bernafas dari sebuah imaginasi. Tak ada yang lebih berharga daripada pengetahuan yang dipengaruhi oleh kualitas imaginasi seseorang. Imagination is more important than knowladge (Enstein). Sebab imaginasi akan melahirkan beragam pengetahuan. pengatahuan yang dilandasi oleh pikiran seseorang. Si agent of change mampu mewujudkan imaginasi yang beredar jauh dalam pikirannya. Imaginasi yang logis dan etis. Salah satu karakteristik yang menonjol dalam dirinya. Logikanya mendominasi ke arah amibisius dalam pencapaian menuju kesempurnaan. Misi dalam hidupnya terlaksana dari sebuah visi yang berkualitas. Visi yang mendorongnya berpikir lebih keras untuk mengeksploitasi ilmu dari berbagai sumber. Titik kulminasi dalam kecintaannya dengan ilmu pengetahuan. Kecintaan pada pengetahuan itulah berpengaruh besar dalam berkembangnya peradaban dari tingkat zero ke tingkat hero.

Aplikasi terhadap sebuah visi adalah hal yang sangat fundamental. Itulah misi yang harus teriaktualisasikan dalam menyusuri rangkaian perjalanan hidup. Sebagai Si agent of change, bagian ini termasuk kategori bagian yang sangat urgen. Bagian yang berdampak terhadap totalitas pencapaian. Peradaban yang dipolesi dengan kualitas pemikiran dan aplikasi mampu mewujudkan zaman yang beradab dan berlandaskan kisi-kisi keilmiahan. Metode sederhana dari pengaplikasian sebuah visi adalah pembauran diri ke dalam wadah kemasyarakatan. Istilah lainnya yaitu mengahdirkan sosok “aku” di sela hiruk-pikuk kehidupan sosial. Si agent of change mentotalitaskan diri untuk mengabdi sepenuhnya kepada bumi pertiwi. Kata “sepenuhnya” dalam konteks ini ialah sekuat nadi berdenyut dan secepat jantung berdetak. Sebisa mungkin yang ia bisa lakukan. Dan sesempat mungkin yang ia miliki kesempatan.

Peradaban gemilang di dunia tak terlepas dari peran kaum muda-mudi di zamannya. Hari ini banyak alibi yang mengindahkan pernyataan tersebut. Namun, suatu masa mampu membuktikan keterlibatan muda-mudi terhadap kemajuan ilmu pengetahuan dan peradaban yang semakin beradab. Sebab peradaban tercipta dari keseimbangan antara kualitas dan kuantitas oknum-oknumnya.