Pages

Sabtu, 11 Juni 2011

LINGUISTIK: SEMANTIK

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkembangan ilmu pengetahuan semakin hari semakin luas, terutama ilmu dalam bidang kebahasaan. Bahasa bersifat dinamis dan konvensional sehingga antara konsep kebahasaan dalam suatu masa dengan masa lainnya memiliki banyak perbedaan, khususnya perbedaan yang bersifat signifikan. Para peneliti dan ilmuwan dalam bidang ini pun banyak mengeluarkan temuan bahkan opini-opini baru tentang jati diri dari sebuah bahasa, bahasa apapun itu, khususnya bahasa Indonesia yang menjadi bahasa ibu kita sehari-hari. Walaupun bersifat konvensional dan arbitrer, kita pun berkewajiban untuk menelaah lebih jauh eksistensi dan ilmu murni yang melahirkan sebuah kebijaksanaan dalam berbahasa.
Mempelajari seluk beluk lahirnya sebuah bahasa merupakan kebutuhan mendasar bagi para cendekiawan, khususnya bagi kita yang termasuk dari sebagian banyak mahasiswa yang mempelajari tentang sastra dan bahasa. Maka dari itu, untuk menutupi kehausan kita dalam materi dan bahan tentang wujud sebuah bahasa, jalan terbaiknya adalah mempelajari lebih mendalam dan lebih urgen tentang jati diri sebuah ilmu kebahasaan itu sendiri.
Seperti telah dijelaskan sebelumya, dalam mata kuliah linguistik ini memiliki cakupan begitu luas bahkan beragam konsep kebahasaan yang dinilai dan diteliti hingga unsur terkecil dari bahasa itu sendiri. Mulai dari status linguistik sebagai ilmu, obyek dari pembelajaran linguistik, sejarah dan aliran linguistik, pun juga tataran linguistik yang semakin beragam objek kajiannya yaitu: fonologi, morfologi, sintaksis, semantik dan pragmatik. Tataran-tataran tersebut berkorelasi antara satu dengan yang lainnya. Dalam kajian tataran linguistik selanjutnya adalah semantik yang akan dijadikan materi makalah dalam diskusi kali ini.
Menurut Chomsky, Bapak linguistik transformasi menyatakan bahwa betapa pentingnya semantik dalam studi linguistik, maka darinya studi semantik yang sebagai bagian dari studi linguistik menjadi semakin marak. Semantik tidak lagi menjadi objek periferal, melainkan menjadi objek yang setaraf dengan bidang studi linguistik lainnya.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian dari semantik?
2. Apa saja yang dikaji dalam semantik?
3. Jenis makna apa yang dipelajari dalam semantik?
4. Apa relasi makan dalam semantik?
5. Apa kesesuaian antara sintaksis dengan semantik?

BAB II:
PEMBAHASAN

A.Pengertian Semantik

Semantik dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Yunani ‘sema’ (kata benda) yang berarti ‘tanda’ atau ‘lambang’. Kata kerjanya adalah ‘semaino’ yang berarti ‘menandai’ atau ‘melambangkan’. Yang dimaksud tanda atau lambang disini adalah tanda-tanda linguistik (Perancis : signé linguistique).
Menurut Ferdinan de Saussure (1966), tanda lingustik terdiri dari : (1) Komponen yang menggantikan, yang berwujud bunyi bahasa. (2) Komponen yang diartikan atau makna dari komponen pertama.
Kedua komponen ini adalah tanda atau lambang, dan sedangkan yang ditandai atau dilambangkan adalah sesuatu yang berada di luar bahasa, atau yang lazim disebut sebagai refereni / acuan / hal yang ditunjuk.
Jadi, Ilmu Semantik adalah Ilmu yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya serta ilmu tentang makna atau arti.

B. Jenis Makna

a. Makna Leksikal, Gramatikal, dan Kontekstual

Makna Leksikal adalah makna yang dimiliki atau ada pada leksem (kata) meski tanpa konteks apapun. Misalnya leksem air bermakna leksikal ‘sejenis zat cair yang di gunakan untuk keperluan sehari-hari’. Dengan contoh tersebut dapat dikatakan bahwa leksikal adalah makna yang sesuai dengan hasil observasi indra kita, atau makna apa adanya.

Berbeda dengan makna leksikal, makna gramatikal baru ada kalau terjadi proses gramatikal, seperti afiksasi, reduplikasi. Umpamanya, dalam proses afiksasi prefiks ber- dengan kata dasar baju melahirkan makna gramatikal ‘mengenakan atau memakai baju’.

Makna kontekstual adalah makna sebuah kata yang berada di dalam satu konteks. Misalnya, makna kata jatuh yang dibicarakan sebagai contoh adik jatuh dari sepeda, Dia jatuh cinta pada adikku.

Kata jatuh berarti sama. Artinya merasakan keadaan pindah mengarah ke bawah atau yang lebih dalam. Tetapi kata jatuh akan memiliki arti yang lebih jauh ketika konteks dalam suatu kalimat berbeda jika ada kalimat lain terdapat kata jatuh.
Makna konteks dapat juga berkenaan dengan situasi yaitu tempat, waktu, dan lingkungan penggunaaan bahasa itu.

b. Makna Referensial dan Nonreferensial

Sebuah kata atau leksem disebut makna referensial jika ada referensi atau acuannya. Kata-kata seperti kuda, merah, dan gambar adalah kata kata yang bermakana referensial karena ada acuannya dalam dunia fakta. Sebaliknya kata kata seperti dan, atau,karena adalah termasuk kata kata yang tidak bermakna referensial, karena kata kata itu tidak mempunyai referensi.

c. Makna Denotatif dan Konotatif

Makna denotatif adalah makna asli, makna asal atau makna sebenarnya yang dimiliki oleh sebuah leksem. Jadi, makna denotatif sama halnya dengan makna leksikal.
Makna konotatif disebut juga makna konotasional, makna emotif, atau makna evaluatif. Makna konotatif merupakan nilai komunikatif dari suatu ungkapan menurut apa yang diacu, melebihi dari dan di atas isinya yang murni konseptual. Makna ini dapat berubah menurut budayanya, masanya dan pengalaman individu. Misalnya, kata babi dapat memiliki makna konotasi positif pun juga memiliki makna konotasi negatif. Hal ini disesuaikan dengan budaya sekitar. Kata babi berkonotasi positif bagi masyarakat yang non Islam, sedangkan bagi agama Islam merupakan makna yang berkonotasi negatif.

d. Makna Konseptual dan Asosiatif

Makna konseptual biasa disebut juga makna denotatif, makna kognitif, makna ideasional, makna referensial atau makna proposisional. Makna ini sering kali disebut dengan makna yang sebenarnya. Jadi, makna konseptual adalah makna yang dimiliki oleh sebuah leksem atau kata terlepas dari konteks atau asosiasi apapun. Contoh kata kuda memiliki makna konseptual (sejenis binatang berkaki empat yang biasa dikendarai).
Makna asosiatif berhubungan dengan alam di luar bahasa. Makna meliputi makna konotatif, makna afektif, makna stilistik, makna reflektif, dan makna kolokatif. Dengan kata lain, makna asosiatif adalah makna yang sama dengan lambang atau perlambang yang digunakan oleh suatu masyarakat bahasa untuk menyatakan konsep lain, yang mempunyai kemiripan dengan sifat, keadaan, atau ciri yang ada pada konsep asal kata. Misalnya kata merah yang bermakna konseptual sejenis warna terang menyolok. Kata tersebut digunakan untuk perlambang keberanian atau di dunia politik yang menunjukkan paham atau golongan komunis.

e.Makna Kata dan Istilah

Setiap kata memiliki makna. Pada awalnya, makna yang dimiliki sebuah kata adalah makna leksikal, makna denotatif, atau makna konseptual. Dalam penggunaanya makna kata itu baru menjadi jelas kalau kata itu sudah berada dalam konteks kalimatnya atau konteks situasi. Kita belum tahu makna kata jatuh sebelum kata itu berada di dalam konteksnya. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa makna kata masih bersifat umum, kasar, dan tidak jelas.

Maka yang disebut istilah mempunyai makna yang pasti, yang jelas, yang tidak meragukan, meskipun tanpa konteks kalimat. Maka sering dikatakan bahwa istilah itu bebas konteks, sedangkan kata tidak bebas konteks. Yang perlu di ingat adalah bahwa istilah hanya digunakan dalam bidang keilmuan dan kegiatan tertentu.

Dalam perkembangan bahasa memang ada sejumlah istilah karena sering digunakan, lalu menjadi kosakata yang umum. Artinya, istilah itu tidak hanya digunakan di dalam bidang keilmuanya, tetapi juga telah digunakan secara umum (di luar bidangnya). Seperti istilah akseptor, spiral, akomodasi, virus telah menjadi kosakata umum; tetapi istilah morfem, alofon, dan variasi masih tetap sebagai istilah dalm bidangnya, belum menjadi kosakata umum.

f.Makna Idiom dan Peribahasa

Idiom adalah satuan ujaran yang maknanya tidak dapat ‘’diramalkan’’ dari makna unsur-unsurnya, baik secara leksikal maupun secara gramatikal. Biasanya dibedakan menjadi dua macam idiom, yaitu idiom penuh dan idiom sebagian. Idiom penuh adalah idiom yang semua unsur-unsurnya sudah melebur menjadi satu kesatuan, sehingga makna yang dimiliki berasal dari seluruh kesatuan itu. Seperti membanting tulang, menjual gigi, meja hijau. Sedangkan idiom sebagian adalah idiom yang sala satu unsurnya masih memiliki makna leksikalnya sendiri. Misalnya, buku putih yang bermakna ‘buku yang memuat keterangan resmi mengenai suatu kasus’.
Berbeda dengan idiom, peribahasa memiliki makna yang masih dapat ditelusuri atau dilacak dari makna unsur-unsurnya karena adanya ’’asosiasi’’ antara makna asli dengan maknanya sebagai peribahasa. Contoh, Seperti anjing dengan kucing yang bermakna ‘dua orang yang tidak pernah akur’. Memiliki makna asosiasi bahwa binatang yang namanya anjing dan kucing jika bersua memang selalu berkelahi, tidak pernah damai.

Idiom dan peribahasa terdapat pada semua bahasa yang ada di dunia ini, terutama pada bahasa-bahasa yang penuturnya sudah memilki kebudayaan yang tinggi. Untuk mengenal makna idiom tidak ada jalan lain selain dari harus melihatnya di dalam kamus; khususnya kamus peribahasa dan kamus idiom.

C. Relasi Makna

Relasi makna adalah hubungan semantik yang terdapat antara satuan bahasa yang satu dengan satuan bahasa lainnya. Satuan bahasa di sini dapat berupa kata, frase, maupun kalimat; relasi semantik itu dapat menyatakan kesamaan makna, pertentangan makna, ketercakupan makna, kegandaan makna, atau juga kelebihan makna. Dalam pembicaraan tentang tentang relasi makna ini mencangkup sinonim, antonim, polisemi, homonimi, hiponimi, ambiguiti, dan redudansi.

a. Sinonimi

Sinonim atau sinonimi adalah hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan makna antara satu ujaran dengan satuan ujaran lainnya. Misalnya, antara kata betul dengan kata benar. Antara kata melihat dan memandang, dsb.
Relasi sinonim ini bersifat dua arah. Maksudnya, kalau satu satuan A ujaran kata bersinonim dengan satuan ujaran B, maka satuan ujaran B bersinonim dengan satuan ujaran A. Namun, kata yang bersinonim tidak selamanya memiliki makna sama atau persis. Tidak semua kata bisa ditukarkan ataupun disubstitusikan. Hal itu disebabkan karena beberapa faktor, antara lain yaitu:
Pertama, faktor waktu. Seperti halnya kata hulubalang bersinonim dengan kata komandan. Namun, kata hulubalang memiliki pengertian klasik sedangkan komandan tidak memiliki pengertian klasik. Secara kongkrit, kata hulubalang hanya cocok untuk konteks klasik sedangkan kata komandan tidak.
Kedua, faktor tempat atau wilayah. Misalnya kata saya dan beta yang keduanya bersinonim. Namun, kata saya dapat digunakan di mana saja. Sedangkan kata beta hanya cocok digunakan untuk wilayah Indonesia bagian timur.
Ketiga, faktor keformalan. Misalnya kata uang dan duit adalah dua buah kata yang bersinonim. Namun, kata uang digunakan dalam ragam formal dan tak formal, sedangkan duit hanya cocok untuk ragam tak formal.
Keempat, faktor sosial. Umpamanya, kata saya dan aku adalah kata bersinonim. Tetapi kata saya bersifat lebih general dan bisa digunakan di mana dan kepada siapa saja; sedangkan kata aku hanya dapat digunakan terhadap orang yang sebaya, yang dianggap akrab ataupun yang setara kedudukan sosialnya.
Kelima, bidang kegiatan. Umpamanya kata matahari dan surya. Kata matahari bisa digunakan dalam kegiatan apa aja, kata tersebut bersifat umum, sedangkan kata surya hanya cocok digunakan pada ragam khusus, terutama ragam sastra.
Keenam, faktor nuansa makna. Misalnya kata-kata melihat, melirik, menonton, meninjau dan mengintip adalah sejumlah kata yang bersinonim. Tetapi antara yang satu dengan yang lainnya tidak selalu dapat dipertukarkan, kerena masing-masing memiliki nuansa makna yang berbeda.

b. Antonimi

Antonim atau antonim adalah hubungan semantik antara dua buah satuan ujaran yang maknanya menyatakan kebalikan, pertentangan, atau kontras antara yang satu dengan lainnya. Misalnya, kata buruk dengan kata baik; kata mati berantonim dengan kata hidup, dsb.
Seperti halnya dalam konteks sinonimi, antonimi pun juga bersifat dua arah. Dilihat dari sifat hubungannya, maka antonimi dapat dibedakan atas beberapa jenis, antara lain:
Pertama, antonimi yang bersifat mutlak. Misalnya kata hidup dan kata mati mutlak berantonim. Sebab sesuatu yang hidup belum tentu mati, pun juga yang mati belum tentu hidup.
Kedua, antonimi yang bersifat relatif atau bergradasi. Seperti halnya kata besar dan kata kecil, jauh dan dekat, gelap dan terang. Jenis antonim ini bersifat relatif karena batas antara yang satu dengan lainnya tidak dapat ditentukan secara jelas.
Ketiga, antonimi yang bersifat relasional. Misalnya, antara kata membeli dan menjual, antara suami dan istri, antara guru dan murid. Antonim ini jelas memiliki hubungan atau relasi antara yang satu dengan lainnya.
Keempat, antonimi yang bersifat hirarkial. Umpamanya kata gram dan kilogram. Dua buah kata tersebut merupakan antonim yang berada dalam satu garis jenjang ukuran timbangan.

c. Polisemi

Polisemi adalah sebuah kata atau ujaran yang mempunyai makna lebih dari satu. Umpanya kata kepala yang setidaknya mempunyai makna (1) bagian tubuh manusia, (2) ketua atau pemimpin, (3) sesuatu yang berada di sebelah atas, (4) sesuatu yang berbentuk bulat, (5) sesuatu atau bagian yang sangat penting.
Dalam kasus polisemi ini, biasanya makna pertama yang didaftarkan di dalam kamus adalah makna yang sebenarnya, makna leksikal, makna denotatifnya atau makna konseptualnya.


d. Homonimi

Homonimi adalah dua buah kata yang bentuknya kebetulan sama; maknanya tentu saja berbeda, karena masing-masing merupakan kata atau bentuk ujaran yang berlainan. Misalnya kata bisa yang berartikan sanggup dengan makna bisa yang berartikan racun ular.
Pada kasus homonimi ini ada dua istilah lain yang dibicarakan, yaitu homograf dan homofon. Yang dimaksud dengan homograf adalah adanya kesamaan dalam otografi atau ejaannya tetapi ucapan dan maknanya berbeda. Misalnya, kata memerah yang berartikan sesuatu menjadi berwarna merah dengan memerah yang berartikan melakukan perah. Hal ini merujuk pada fonem, yaitu fonem /e/ dan fonem /ə/.
Sedangkan homofon adalah adanya kesamaan bunyi antara dua satuan ujaran tanpa memperhatikan ejaannya, apakah ejaannya sama ataukah beda. Misalnya kata bang yang berartikan panggilan kepada seseorang yang lebih tua, dengan bank yang berartikan tempat penyimpanan uang.
e. Hiponimi

Hiponim atau hiponimi adalah hubungan semantik antara sebuah bentuk ujaran yang maknanya tercakup dalam makna bentuk ujaran lain. Dalam hal ini, kata yang bersifat umum dan mampu membawahi kata-kata lainnya disebut dengan sub ordinat. Seperti halnya, anjing, ayam, kucing, sapi, dan burung adalah sub ordinat daripada hewan. Dari jenis hewan-hewan tersebut bisa dijadikan sub ordinat dari bangsa atau jenis hewan itu sendiri.

f. Ambiguiti

Ambiguiti atau ketaksaan adalah gejala dapat terjadinya kegandaan makna akibat tafsiran gramatikal yang berbeda. Tafsiran gramatikal ini umumnya terjadi pada bahasa tulis. Umpamanya, buku sejarah baru yang mempunyai banyak tafsiran yaitu (1) buku sejarah itu baru terbit, (2) buku itu memuat sejarah zaman baru. Kemungkinan makna (1) dan (2) itu terjadi karena kata baru yang ada dalam konstruksi kalimat tersebut.

g. Redudansi

Redudansi diartikan sebagai penggunaan yang berlebih-lebihan dalam menggunakan unsur segmental dalam suatu bentuk ujaran. Contohnya, kalimat bola itu ditendang oleh Dwika tidak akan berbeda dengan kalimat bola itu ditendang Dwika. Jadi, tanpa menggunakan preposisi oleh pun tidak berpengaruh dan merubah makna. Nah, penggunaan kata oleh inilah yang dianggap redudans atau berlebih-lebihan.


D. Perubahan Makna

Secara sinkronis makna sebuah kata atau leksem tidak akan berubah; tetapi secara diakronis ada kemungkinan dapat berubah. Maksudnya dalam masa yang relatif singkat, makna sebuah kata akan tetap sama, tidak berubah; tetapi dalam waktu yang relatif lama ada kemungkinan makna sebuah kata akan berubah. Ada kemungkinan ini bukan berlaku untuk semua kosakata yang terdapat dalam sebuah bahasa, melainkan hanya terjadi pada sejumlah kata saja. Macam-macam perubahan makna:
1). Makna Meluas
Makna Meluas adalah perubahan makna yang dialami sebuah kata yang dialami sebuah kata yang awalnya mengandung makna yang khusus,tetapi kemudian meluas maknanya.contoh: bapak, ibu, saudara, putra, putri, adik, kakak, layar, laksamana dan sebagainya.
2). Makna Menyempit
Makna menyempit adalah sebuah kata yang makna lamanya lebih luas dari makna yang baru. Contoh: pendeta, sarjana, dan sebagainya.

E.Medan Makna dan Komponen Makna

a.Medan Makna
Medan makna atau medan leksikal adalah seperangkat unsur leksikal yang maknanya saling berhubungan karena menggambarkan bagian dari bidang kebudayaan atau realitas dalam alam semesta. Misalnya: nama-nama warna, nama-nama perabot rumah tangga, atau nama-nama perkerabatan, yang masing-masing merupakan satu medan makna.

b.Komponen Makna
Setiap kata, leksem, atau butir leksikal tentu mempunyai makna. Makna yang dimiliki oleh setiap kata itu terdiri dari sejumlah komponen (yang disebut komponen makna) yang membentuk keseluruhan makna kata itu. Komponen makna ini dapat dianalisis, dibutiri atau disebutkan satu per satu, berdasarkan “pengertian-pengertian” yang dimilikinya.
Umpamanya, kata ayah memiliki komponen makna /+manusia/, /+dewasa/, /+jantan/, /+kawin/,dan /+punya anak/; dan kata ibu memiliki komponen makna /+manusia/, /+dewasa/, /-jantan/,/+kawin/,dan/+punya anak/.
*keterangan: Tanda + berarti memiliki komponen makna tersebut dan Tanda – berarti tidak memiliki komponen makna tersebut.
c. Kesesuaian Sintaksis dan Semantis
Dalam proses komposisi, atau proses penggabungan leksem dengan leksem, terlihat juga bahwa komponen makna yang dimiliki oleh bentuk dasar yang terlibat dalam proses itu menentukan juga makna gramatikal yang dihasilkannya. Namun sesuai tidaknya sebuah kalimat bukan hanya masalah gramatikal, tetapi juga masalah semantik.
Contoh:
(1). *Kambing yang Pak Udin terlepas lagi
Ketidakesesuaian kalimat tersebut adalah kesalahan gramatikal, yaitu adanya konjungsi yang antara kambing dan Pak Udin. Konjungsi yang tidak dapat menggabungkan nomina dengan nomina; tetapi dapat menggabungkan nomina dengan ajektifa. Misalnya menjadi kambing yang besar, atau kambing yang kurus. Lagipula dalam konstruksi yang menyatakan milik tidak perlu menggunakan konjungsi yang. Maka kalimat tersebut menjadi benar kalau dikatakan seperti kalimat berikut:
(1a). * Kambing Pak Udin terlepas lagi.
(2). * Segelas kambing minum setumpuk air.
Kalimat diatas tidak sesuai, bukanlah karena kesalahan gramatikal maupun informasi, melainkan karena kesalahan semantik. Kesalahan itu berupa tidak adanya persesuaian semantik diantara konstituen-konstituen yang membangun kalimat itu. Frase *segelas kambing pada kalimat di atas tidak sesuai karena kata segelas memiliki komponen makna /+satuan wadah/, /+benda cair/, /+dan terhitung/; padahal kata kambing berkomponen makna /-benda cair/ dan /+terhitung/. Jadi mana mungkin menempatkan benda tidak cair dan terhitung pada wadah untuk benda cair yang tidak terhitung. Begitu juga dengan frase *setumpuk air. Kata setumpuk memiliki memiliki komponen makna /+satuan hitungan/ dan /-benda padat/; padahal kata air tidak memiliki komponen benda padat itu. Kalimat yang benar adalah:
(2a). * Seekor kambing minum seember air.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Konklusi dari pemaparan tentang semantik adalah bahwa kata semantik berasal dari bahasa Yunani yang beristilah Ilmu yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya serta ilmu tentang makna atau arti.
Selain itu semantik memiliki banyak jenis makna dan relasi makna antara satu leksem dengan leksem lainnya, pun juga antara kalimat dengan kalimat lainnya. Bahkan korelasi antara tataran linguistik yang meliputi fonologi, morfologi, sintaksis dan pragmatik dengan semantik sangatlah berkaitan satu sama lain.
Secara singkat, setiap kata memiliki arti atau makna berbeda di setiap konteks yang dibicarakan tergantung pada hubungan kata tersebut dengan kata yang menggandeng sebelum dan sesudah kata tersebut.

B. Daftar Pustaka
-Chaer, Abdul. 2007. Linguistic Umum. Jakarta; Rineka Cipta-
-Herniti, Eneng dkk. 2005. Naskah Buku Ajar Bahasa Indonesia. Yogyakarta; Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga-
-www.google.com-

Jumat, 03 Juni 2011

Penghimpunan Al Quran


A. Pendahuluan

Perkembangan zaman disertai canggihnya teknologi dan semakin beragamanya ilmu pengetahuan menimbulkan banyak pertanyaan di benak para ilmuan, khususnya sarjana muslim tentang kronologis penyampaian dan penghimpunan kitab suci Al Quran. Pasalnya sifat kritisisme telah timbul di setiap pribadi para pelajar Islam. Sehingga bagi mereka, baik yang menyangkut konsep beragama maupun kitab sucinya harus diketahui secara menyeluruh, artinya tidak setengah-setengah dalam memahami atau mengetahui konsep keislamannya. Hal inilah yang menjadi tolak ukur terpenting bagi sarjanawan muslim. Maka dari itu, sikap eksistensi diri dalam melebur apa-apa yang menjadi ketidakmengertian harus mereka lakukan dengan tujuan untuk menemukan sebuah titik temu yang bersifat singkronisme antara paham yang telah termaktub dengan yang mengambang dalam logika.
Permasalahan ini dapat terselesaikan dengan cara penelitian lebih lanjut oleh mereka tentang apa yang menjadi sebuah pertanyaan besar. Sikap tersebut mampu memudahkan mereka dalam pemahaman Islam yang lebih mendalam. Terkadang penelitian secara letterlek yang bersumber dari kitab suci Al Quran itu sendiri pun masih belum memuaskan mereka dalam proses dan hasil penelitiannya. Sehingga dibutuhkan bukti-bukti nyata lainnya dari alam sekitar yang menjadi penguat tentang pencarian kebenarannya. Khususnya perihal penghimpunan ayat-ayat suci Al Quran yang sejauh ini masih terjadi simpang-siur di antara kaum ilmuan sarjana muslim. Rumusan masalah dalam makalah mengenai proses penghimpunan Kitab Suci Al Quran dari zaman Rasulullah SAW hingga saat ini. Dimuai dari penghimpunan Al Quran dari aspek menghafalkan dan menuliskan di masa Rasulullah, selanjutnya penghimpunan di masa khalifah Abu Bakar, kemudian penghimpunan di masa khalifah Utsman bin ‘Affan, tentang kemurnian dan keragu-raguan terhadap Al Quran dan pendapat kita tentang sikap sebagai seorang muslim dalam menjaga keotentikan Al Quran. Berikut ini penjelasannya:

B. Pembahasan

1. Penghimpunan di Zaman Nabi
Teori yang berkembang luas di kalangan sarjana muslim bahwa bangsa Arab adalah bangsa yang mayoritas masyarakatnya buta aksara dan bodoh. Hal inilah yang menjadi penelitian fundamental bagi para sarjana muslim. Akankah kaum yang notabene masyarakatnya yang buta aksara dan bodoh mampu menghimpun dan mengkodifikasikan ayat-ayat suci Al Quran?
Sebelum kelahiran Nabi Muhammad SAW telah ditemukan bukti arkeologis berupa prasasti yang sedikit memberikan titik pencerahan kepada para ilmuwan muslim di tanah Arab. Seperti halnya di abad ke-3 ditemukan prasasti yang berbahasa Arab ditiga sketsa kasar yang tertera pada tembok suatu kuil di Siria. Prasasti yang lebih awal dari kehadiran Nabi memang belum ditemukan di sekitar Mekkah.
Jamm’ul Quran adalah salah satu istilah yang dicetuskan oleh para sarjana muslim sebagai teknis pengumpulan wahyu-wahyu. Teknis tersebut dibagi menjadi dua yaitu: pemeliharaan dalam penyimpanannya ke dalam “dada” manusia atau menghafalkannya; dan mengabadikan seca tertulis di atas berbagai jenis bahan untuk menulis.

2. Penghimpunan dalam arti menghafalnya

Wahyu Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW pada faktanya dipelihara dari kemusnahan. Salah satu caranya ialah menyimpannya ke dalam “dada manusia” atau menghafalkannya.
Pada mulanya, ayat-ayat suci Al Quran Al Karim dipelihara dalam ingatan Nabi dan para sahabatnya. Tradisi hafalan dalam masyarakat Arab memungkinkan terpeliharanya Al Quran cara semacam ini. Jadi setelah menerima suatu wahyu, Nabi lalu menyampaikannya kepada pengikutnya (para sahabat) dan kemudian menghafalkannya. Sesuai dengan firman Allah SWT;
يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنزِلَ إِلَيْكَ مِن رَّبِّكَ وَإِن لَّمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ وَاللّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ إِنَّ اللّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
Artinya: “Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Ma’idah/5: 67)
Para sahabat telah dikenal dengan kencintaan dan semangat mereka dalam menghafal Al Quran. Dalam kitab sahih Al Bukhori telah dikemukakan adanya tujuh huffadz di masa para sahabat, mereka adalah Abdullah bin Mas’ud, Salim bin Ma’qal; bekas budak Abu Hudzaifah, Muaz bin Jabal, Ubai bin Katab, Zaid bin Tsabit, Abu Zaid bin Sakan dan Abu Darda.

a. Penghimpunan dalam arti menulisnya

Kendati diwahyukan secara lisan, Al Quran sendiri secara konsisten menyebut sebagai kitab tertulis. Hal ini memberikan indikasi bahwa wahyu tersebut tercatat dalam tulisan. Pada dasarnya, ayat-ayat Al Quran tertulis sejak awal perkembangan Islam. Tradisi tulis menulis mulai berkembang di masyarakat Mekkah, mungkin bisa ditafsirkan tulis menulis di Mekkah masih asing atau baru. Sebagian besar bukti tidak langsung dari Al Quran, justru memperlihatkan keakraban orang Mekkah maupun Madinah dengan tulis menulis atau peralatanya yang termasuk salah satu bukti nyata, yaitu perniagaan. Dalam perniagaan tersebut terdapat banyak interaksi yang melalui media tulisan.
Menurut Al Baladzuri, pada masa Nabi Muhammad SAW hanya terdapat 17 orang lelaki-ditambah segelintir wanita- yang bisa menulis. Tetapi pernyataan ini sangat tidak masuk akal, sebab Nabi Muhammad SAW telah menunjuk beberapa sahabat yang ditunjuk untuk menuliskan wahyu, seperti Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi thalib, Muawiyah bin Abu Sufyan, Ubai bin Ka’ab dan masih banyak para sahabat lainnya.
Zaman dahulu tidak mengenal kertas sebagai media untuk menuliskan sesuatu, namun banyak media alternatif lainnya yang digunakan untuk menghimpun ayat-ayat suci Al Quran. Hal inilah yang menarik dalam penghimpunan Al Quran di zaman Rasulullah SAW. Sejarah mengatakan bahwa media untuk penulisannya wahyu tersebut berupa lontar, batu, kertas kulit binatang ataupun dinding-dinding goa, dsb.
Dalam Al Quran dijelaskan tentang bahan-bahan tulis menulis dalam penghimpunan ayat-ayat suci Al Quran. Seperti dalam surat Al An’am/6 ayat 91:
“Dan mereka tidak menghormati Allah dengan penghormatan yang semestinya, di kala mereka berkata: "Allah tidak menurunkan sesuatupun kepada manusia." Katakanlah: "Siapakah yang menurunkan kitab (Taurat) yang dibawa oleh Musa sebagai cahaya dan petunjuk bagi manusia, kamu jadikan kitab itu lembaran-lembaran kertas yang bercerai-berai, kamu perlihatkan (sebahagiannya) dan kamu sembunyikan sebahagian besarnya, padahal telah diajarkan kepadamu apa yang kamu dan bapak-bapak kamu tidak mengetahui(nya) ?" Katakanlah: "Allah-lah (yang menurunkannya)", kemudian (sesudah kamu menyampaikan Al Quran kepada mereka), biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya.”
Rujukan kata Qirthas dalam bentuk plural yakni Qaraths yang menyiratkan lembaran-lembaran kertas yang berupa lontar sebagai media untuk menuliskan ayat-ayat suci Al Quran. Hal ini juga dibuktikan dalam surat yang sama di ayat ke-7 yang mengacu pada sebuah kitab terbuat dari sebuah lontar. Barangkali kitab jenis inilah yang merujuk kepada Al Quran.

2. Penghimpunan pada masa Abu Bakar

Abu bakar adalah salah satu sahabat Nabi yang termasuk dalam jejeran Khulafaur Rasyidin. Masa pemerintahan yang pertama setelah Rasulullah SAW wafat dipercayakan kepada Abu Bakar oleh masyarakat. Pada masa kekhalifahan Abu Bakar terjadi beberapa pertempuran (dalam perang Ridda) yang mengakibatkan tewasnya beberapa penghafal Al-Quran dalam jumlah signifikan. Umar bin Khattab saat itu merasa sangat khawatir akan keadaan tersebut. Sebab kejadian itu Dia meminta Abu Bakar untuk mengumpulkan seluruh tulisan ayat-ayat Al Quran yang saat itu tersebar di antara para sahabat. Abu Bakar lantas memerintahkan Zaid bin Tsabit sebagai koordinator pelaksanaan tugas tersebut.
Abu Bakar mengatakan kepada Zaid bin Tsabit: “Sesungguhnya Engkau adalah pemuda yang cerdik, kami tidak pernah menuduhmu sesuatupun, dan Engkau dahulu penulis wahyu Rasulullah, maka periksalah Al Qur’an yang ada sekarang.” Cara terefektif yang dilakukan Zaid bin Tsabit dalam penghimpunan Al Quran adalah dari sumber hafalannya. Dia termasuk salah satu sahabat yang ditugaskan Nabi SAW untuk menghafal Al Quran. Kemduian Ayat-ayat Al Quran tersusun rapi dalam sebuah mushaf. Dan hasilnya diserahkan oleh Zaid bin Tsabit kepada Abu Bakar. Dan Abu Bakar menyimpannya hingga wafat.

3. Penghimpunan pada Masa Utsman

Selain penghimpunan yang dilakukan di masa khalifah Abu Bakar, penghimpunan Al Quran juga dilakukan di masa khalifah Ustman bin ‘Affan. Ustman mengkodifikasikan Al Quran berbentuk mushaf, yang dikenal dengan mushaf ustmani. Dan perlu kita ketahui bahwasanya kitab suci Al Quran yang kita ada di tangan kita dan kita gunakan saat ini merupakan wujud Al Quran yang dihimpun oleh khalifah Ustman.
Berbagai metode yang dilakukan Utsman dalam penghimpunan ayat-ayat suci Al Quran. Tentunya berbeda dengan konsep penghimpunan Al Quran di masa Abu Bakar. Baik dari segi teknisi, dari segi jumlah kordinator penghimpunannya, dari segi sumber suhufnya, dan dari jumlah naskah yang disahkan untuk dijadikan sumber.
Khalifah Utsman bin ‘Affan mempercayakan kepada dua belas orang untuk mengurusi dengan mengumpulkan atau menghimpun ayat-ayat suci Al Quran, mereka adalah Sa’ad bin Al-As, Nafi’ bin Zubair bin Amr bin Naufal, Ubbay bin Ka’ab, Abdullah bin Zubair, Zaid bin Tsabit, Abrur Rahman bin Hisyam, Khatir bin Aflah, Anas bin Malik, Abdullah bin Abbas, Malik bin Abi Amir, Abdullah bin Umar, dan Abdullah bin Amr bin Al-As.
Banyak ilmuwan yang menguras waktu untuk membandingkan atau mencari perbedaan antara mushaf Utsmani dengan mushaf-mushaf lainnya. Dan ditemukan perbedaan di anataranya yaitu:
1. Mushaf dihiasi dengan perak
2. Ia mengandung pemisah surat tinta berwarna hitam sepanjang penyambung yang dihiasi seperti rantai memanjang sepanjang garis.
3. Ia juga mempunyai pemisah ayat dalam bentuk titik.
4. Dsb.
Inilah tahapa pertama penghimpunan Al-Qur’an. Al-Qur’an tersalin dalam beberapa mushaf , dan walaupun tidak terlalu esensial terdapat perbedaan antara satu mushaf dengan lainnya. Hingga pada masa pemerintahan Khalifah Utsman, kaum muslimin terus melanjutkan ekspansi dakwahnya sehingga kaum muslimin merasa perlu untuk menyatukan Al-Qur’an dalam satu mushaf.
Usaha Utsman mengarah pada sebuah keberhasilan dalam penghimpunan Al Quran. Hal ini ditandai oleh dua hal: pertama, tidak ada mushaf di provinsi Muslim kecuali mushaf Ustmani yang telah menyerap ke darah daging mereka; dan kedua, mushaf atau kerangka teks mushafnya dalam jangka waktu 14 abad tidak bisa dirusak alias abadi. Susungguhnya manifestasi Kitab Suci Al Quran adalah benar-benar suatu keajaiban.

4. Kemurnian Al Quran

Kemurnian Al Quran? Dijamin oleh Allah sepanjang masa. Dalam surat Yunus ayat 37 menjelaskan bahwa Al Quran bukanlah buatan atau rekayasa manusia, ia merupakan karya asli Allah SWT sebagai wahyu kepada Nabi SAW:
“Tidaklah mungkin Al Quran ini dibuat oleh selain Allah; akan tetapi (Al Quran itu) membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya dan menjelaskan hukum-hukum yang telah ditetapkannya, tidak ada keraguan di dalamnya, (diturunkan) dari Tuhan semesta alam.”
Jaminan Allah atas keaslian Al Quran terbukti bahwa Al Quran tidak pernah mengalami perubahan di seluruh dunia. Baik dari segi teks, huruf, ayat dan susunannya sama baik di negara Islam maupun tidak. Hal ini didukung oleh beberapa faktor yang menyebabkan terpeliharanya keotentikan kitab suci Al Quran, seperti halnya Banyak para penghafal Al Quran, sebab bahasa Al Quran adalah bahasa yang mudah untuk dibaca dan dihafal.
Sesuai dalam kalam Allah SWT,
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS. Al Hijr/15:9)

5. Beberapa keragu-raguan terhadap Al Quran

Banyak kaum khususnya kaum orientalis yang meragukan akan keaslian dan kebenaran Al Quran. Hal ini terbukti sebab mereka beranggapan bahwa Al Quran merupakan bahasa manusia, dan hanya bersumber dari ucapan Nabi SAW. Jelas-jelas pendapat mereka sangatlah bertentang dengan kebenaran yang ada. Banyak sumber da bukti-bukti bahwa Al Quran bukanlah sebuah kitab yang terdapat keragu-raguan di dalamnya. Sesuai dengan firman Allah SWT,
ذَلِكَ الْكِتَابُ لاَ رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِّلْمُتَّقِينَ
“Kitab Al Quran ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.” (QS. Al Baqarah/2:2)
Beberapa ilmuwan barat yang meragukan dan mempermasalahkan meontentikan Al Quran sebagai kitab suci. Salah satunya adalah orientalis asal Prancis, Sivestre de sacy mengemukakan dugaan kepalsuan dalam penghimpunan ayat-ayat Al Quran. Di mengatakan bahwa Abu Bakar merekayasa sebagian ayat-ayat Al Quran dalam proses pengumpulannya. Ilmuwan tersebut mempermasalahkan berita tentang wafatnya Nabi SAW. Dia berargumen bahwa adanya ketidaksingkronisasi antara beberapa ayat dengan ayat-ayat lainnya yang menceritakan tentang kehidupan Nabi. Namun, secara historis, Abu Bakar tidak mungkin merekayasa dalam proses pengumpulannya sebab kesesuaiannya dengan konteks sejarah. Bukti lainnya, Abu Bakar merupakan salah satu sahabat Nabi yang memiliki kedekatan emosional secara intim dengan Beliau, sehingga kemungkinan dalam pemalsuan dalam pengumpulannya sangatlah kecil bahkan dikatakan tidak mungkin.

6. Menurut pendapat Anda, apa peran kita sebagai kaum muda muslim dalam menjaga keotentikan Al Quran?

Sebagai generasi penerus muslim yang berpengaruh di masa depan, cara efektif untuk memelihara keotentikan kitab suci Al Quran ialah dengan cara pemerhatian lebih kepadanya. Hal ini memiliki arti luas yang dipersempit kepada dua cara, yakni: menghafalkannya seperti cara-cara yang dilakukan oleh para sahabat Nabi; dengan membumikan Al Quran ke dalam “dada”, kemudian yang kedua dengan cara pemahaman lebih akan makna dan maksud ayat-ayat Al Quran, baik yang bersifat eksplisit maupun implisit. Cara kedua ini merujuk pada sebuah pengamplikasian dan realisasi makna yang terkandung dalam Al Quran. Tentunya aplikasi makna dalam management dan konsep kehidupan kita sehari-hari.

C. Kesimpulan

Kesimpulan dari keseluruhan topik penghimpunan Al Quran adalah sebuah proses yang melatarbelakangi penyampaian Al Quran dari tangan Rasulullah SAW kepada seluruh ummat Islam hingga saat ini. Penghimpunan Al Quran tidak hanya dilakukan dalam satu periode, melainkan dilanjutkan di masa-masa setelah Rasulullah SAW wafat. Diawali dari penugasan Rasulullah SAW kepada sahabat Ali bin Abi Thalib sebelum Beliau wafat untuk mengumpulkan mushaf-mushaf Al Quran yang disimpannya di bawah tempat tidur Beliau hingga diteruskan kepada sahabat-sahabat lainnya seperti halnya; Abu Bakar dan Ustman bin ‘Affan. Sebenarnya banyak sahabat-sahabat yang menghimpun mushaf Al Quran, akan tetapi dalam makalah ini disoroti sahabat dalam garis besarnya, yaitu sahabat-sahabat yang lebih berpengaruh terhadap perkembangan ajaran Islam. Dan perlu diketahui bahwasanya Al Quran yang kita gunakan hingga saat ini di seluruh dunia merupakan mushaf dari khalifah Utsman biin ‘Affan.

sajak-sajakku kembali menetas di bilik singgahsana tinta



Kubah Diri

Altar jiwa terbungkus benalu bisa
Angkara menyeruak di balik sempoyongan permadani
Lunglai dan rapuh terbawa mesiu bising di pelataran jalan buntu
Lembut perangai mulia begitu diharap
Jelajah hati nan bijak bersuara dalam harapan semu
Dia mulai tertatih-tatih menuju puncak kubah
Adakah rintihan terdengar di setiap seretan langkah?
Kubah diri yang dicari
Dalam lempengan-lempengan bijak kelembutan diharap
Antara keji, mungkar dan perkara misteri
O, dia mampu tak abaikan kemuliaan
Bersama riuh jati diri yang dicari
Tinggi kubah jelmakan putus asa dalam dirinya
O, pernahkah kau ingat ayat itu ketika dia terdiam?
Maafkan, hancurkan batu kekerasan dalam permata hati
Cahaya itu hadir sela-sela kepasrahan dia jalani
Karena kubah diri sungguh bertahta di kursi kerajaan-Nya
O, tataplah mungkar tuk dia cengkram
Ingatlah! Dia dan kubah dirinya menjulang di atas penghalang


Negeri Biadab

Tengok kanan kirimu terhampar jasad remuk redam
Menyeruak anjing mengitari jalanan kota bersimbah duri
Di manakah negeri kau junjung akhlak dimensi?
Hthh, kebusukan menuai dalam neraka jahannam
Biarkah kau tusuk jari-jemarimu dengan pisau kebajikan
Satu waktu tertoreh bias asa yang kau simpan
Kau pahat dinding bumi negerimu dengan janji-janji keabadian
Negerimu itu rindukan tetes demi tetes ketentraman
Bisakah kau dengar bisikannya setiap jam berdenting?
Ah, kau ini hanya letakkan sadarmu di pundak rusa
Oh, pantas saja negerimu biadab!
Tak tahukah kau bahwa neraka menanti kehancuran negeri tak kenal akhlak dimensi
Maka kuingatkan saja kau dengan waktu
Ku kenalkan saja kau dengan mizan yang menunggu
Negeri biadab bukan sahabat dalam hening akhirat
Buka mata dahimu, rasakan mulut hatimu
Distorsi kehidupan itu tak laku
Sejenak kau kan tahu,
Tentang jalan yang selalu tersemai dengan pengajaran kalbu
Dan Negeri biadab itu kan terhalang dari anjing-anjing semu




6 masa

Pusara bumi mengitari semesta bervolum kasturi
Awan kelabu bergemul lalui ilalang langit
Lihai gemulai sang nada dunia alurkan puisi-puisi malam
Malam berganti siang, senja pun berganti fajar
Tuhan ciptakan makhluk cakrawala dengan 6 masa
Bintang-gemintang bergemuruh dalam rawa keindahan
Rembulan penyempurna kesetiaan bintang pada langitnya
Fajar merekah, kicau burung senadakan kata, dan sepoi angin lembutkan hawa
Ialah nafas penghidupan bagi para makhluk yang bertahta
Rerimbunan hijau terhampar ruah di ladang-ladang basah
Air mengarus ke ulu samudra
Ikan-ikan menari lemah gemulai bercumbukan karang
Mereka bertasbih memuja pencipta
Tak pernah tersanksikan akan semesta penciptaan

Zakariya di mihrab

Katup nadi sematkan keyakinan dekat sanubari
Telisik arti-mengarti ketika ajaran-Mu kian melekat di kisi-kisi irama
Kau awali pada Zakariya di mihrab
Pemelihara janur nazar luaskan arti ajaran-Mu
Lewati surat wahyu yang Kau tuangkan dalam cawan hidup
Ketika itu Kau sematkan pendidikan baja
Pada setiap mujahid Kau temui hati dengan hati
Al-Imran Kau jadikan jembatan sempurnakan pengetahuan
Menanam saling mengetam dalam logika setiap insan
Zakariya mengulum bumi dengan otak dan hati
Sebagai warisan dedukasi tinggi pada penerus ajaran tersampaikan
Sebab dunia tercerahkan oleh ilmu pengetahuan


Batu

Bulir,
Air,
Hujan,
Menetes,
Perlahan,
Cumbui batu-batu kaku
Hitam pekat
Akhirnya,
Retak,
Terkikis,
Kelu,
Pendidikan itu batu
Laksana tetesan demi tetesan hujan membuka tabir sains ibnu hajar