Pages

Kamis, 08 Desember 2011

Pengertian Hakim & Mahkum Fih, Syarat-Syarat & Macam-Macam Mahkum Fih

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sebagai seorang muslim kita dituntut untuk menguasai segala aspek yang berhubungan dengan pengamalan ibadah dalam agama, baik yang sifatnya wajib maupun sunnah. Hal inilah yang berkaitan erat dengan syariat Islam. Syariat yang mana setiap muslim harus memahami konsep ajarannya dan mengaplikasikan dengan mempraktikan secara riil dalam kehidupan. Namun, tak sedikit dari ummat muslim yang hanya mempu melakukan syariat-syariat tanpa memahami apa sejatinya makna yang terselip di setiap syariat-syariat tersebut. Tujuan apa yang harus dimengerti dengan adanya sebuah syariat dan apakah tugas kita sebagai seorang muslim hanya berstatus menggugurkan kewajiban dalam melakukannya tanpa ada efek yang berdampak positif bagi kehidupan seperti halnya bertambah iman dan khusnul khotimah. Di sinilah titik acuan yang kami jadikan latar belakang dalam pembuatan makalah ini. Menjadikan syariat sebagai pengaplikasian diri sebagai seorang muslim yang berstatus Mukallaf. Sebagai seorang mukallaf, kita diwajibkan untuk mengetahui lebih detail mengenai konsep-konsep yang ada dalam syariat, baik hukum yang wajib dilakukan, wajib ditinggalkan, sunnah dilakukan, sunnah ditinggalkan bahkan hukum yang diperbolehkan dalam melakukannya. Dalam makalah ini akan dijelaskan mengenai siapakan sumber segala hukum dan siapakan pula yang menjadi objek dari hukum tersebut serta syarat dan macam-macamnya.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini antara lain yaitu:
1. Apa definisi Hakim dan Mahkum Fih?
2. Jelaskan apa saja syarat-syarat dari pada Mahkum Fih?
3. Sebutkan macam-macam Mahkum Fih?

C. Tujuan Permasalahan
Tujuan dari pembahasan makalah ini adalah untuk memecahkan permasalahan yang terdapat dalam rumusan masalah, diantaranya yaitu:
1. Mengetahui tentang definisi Hakim dan Mahkum Fih
2. Mempelajari apa saja syarat – syarat Mahkum Fih
3. Dan menganalisa tentang macam- macam Mahkum
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Hakim dan Mahkum Fih

1. Hakim
Hakim didefiniskan menjadi dua pengertian:
a. Pembuat, yang menetapkan, yang memunculkan dan sumber hukum.
b. Yang menemukan, menjelaskan, memperkenalkan, dan menyingkap hukum. (Nasrun Haroen M.A, 1996 :285)
Hakim merupakan hal yang esensial dalam Ushul Fiqih, sebab hal tersebut berkaitan dengan siapakan yang berhak membuat dan menentukan sebuah hukum dalam syariat agama Islam. Hal ini berkaitan pula dengan pahala dan dosa; siapakan yang berhak mendatangkan pahala bagi muslim yang melakukan syariat dengan baik dan siapakah pula yang berhak menentukan dosa bagi pelanggarnya.
Dalam ilmu Ushul Fiqih, hakim disebut juga dengan syar’i. Hakim dari pengertian ini ialah Allah SWT sebagai penentu dan penguasa pertama atas segala sesuatunya. Dia pembuat hukum, sumber dari segala hukum yang berupa hukum taklifi (wajib, sunnah, haram, mubah dan makruh) dan juga hukum wadh’i (sebab, syarat, halangan, sah, batal, fasid, ‘azimah dan rukhsah). Hukum-hukum tersebut Allah titahkan bagi seorang mukallaf, yaitu orang Islam.
Jadi untuk definisi pertama hakim sebagai “pembuat” merujuk kepada Allah yang merupakan hakikat sumber utama adanya sebuah hukum dalam syari’at Islam. (Nasrun Haroen M.A, 1996 :292)
Dari pengertian hakim yang kedua berarti “yang menemukan, memperkenalkan dan menjelaskan hukum”, hal ini merujuk kepada sosok Rasulullah SAW sebagai sumber kedua setelah Allah SWT. Ulama Ushul Fiqih mendefinisikannya menjadi dua perbedaan dalam segi masa kehidupan Rasulullah SAW. (Nasrun Haroen M.A, 1996 :287)
1. Masa Muhammad setelah diangkat sebagai Rasulullah SAW.
Ulama ushul Fiqih berpendapat dan menyatakan bahwa hakim di sini ialah syari’at yang bersumber dari Allah SWT yang diturunkan dan dibawa oleh Nabi Muhammad SAW . Rasulullah yang menepati urutan kedua setelah Allah SWT dalam silsilah hakim syari’at Islam.
2. Masa Muhammad sebelum diangkat menjadi Rasulullah SAW.
Dalam hal ini timbul perdebatan di kalangan ulama tentang siapa yang menemukan, memperkenalkan, dan menjelaskan hukum. Sebagian ulama Fiqih, Ahlussunnah wal Jama’ah, berpendapa bahwa saat itu tidak ada hakim dan tidak ada hukum syar’i, sebelum Muhammad diangkat menjadi Rasul. Alasan mereka karena hukum tidak dapat diperoleh kecuali melalui Rasul, sementara akal tak mampu mencapainya. Sedangkan ulama Mu’tazillah berpendapat bahwa hakim itu pada hakikatnya adalah Allah Ta’ala, akal mampu menemukan dan menyingkapnya sebelum datangnya syara’. Perdebatan ini menimbulkan permasalahan, oleh para ulama Fiqih dikenal dengan istilah “Al-Tahsin wa Al-Taqbih”, yaitu menyatakan sesuatu itu baik atau buruk.
• Tahsin dan Taqbih
Banyak pengertian yang dilontarkan para ulama tentang makna keduanya, (Nasrun Haroen M.A, 1996 :288) yaitu antara lain:
1. Alhusnu yang berarti seluruh perbuatan yang sesuai dengan tabiat manusia, seperti membantu sesama. Sedangkan Qabih berarti sesuatu yang tidak disenangi oleh tabiat manusia, seperti mengambil harta orang lain.
2. Alhusnu berarti sifat yang sempurna baik pengetahuan dan kemuliaan. Sedangkan Qabih berarti sifat negatif yang berupa kekurangan seseorang, bodoh, kikir. Dalam pengertian ini para ulama berpendapat sesuatu hal yang dicapai oleh akal.
3. Alhusnu yang berarti pekerjaan yang boleh dikerjakan oleh manusia. Sedangkan Qabih ialah pekerjaan yang tidak dilakukan oleh manusia.
4. Alhusnu adalah apabila sesuatu dikerjakan maka orang yang mengerjakan mendapat pujian atau pahala, seperti taat. Sedangkan Qabih berarti kebalikannya.
Mengenai peran manusia atas kemampuan akal fikirannya untuk menentukan hukum sebelum turunnya syari’at, ada tiga pendapat yag dikemukakan oleh para ulama ushul Fiqih, yaitu: (Nasrun Haroen M.A, 1996 :289)
1. Ahlussunnah wal jama’ah berpendapat bahwa sebelum diangkatnya Rasulullah SAW dan turunnya syari’at, akal manusia tak mampu menetapkan hukum. Akal manusia tidak bisa mengetahui yang baik dan buruk tanpa perantara Rasul dan kitabnya. Alasan mereka tertera pada firman Allah surat Al-Isra’, 17: 15 yang artinya, “Kami tidak akan mengazab seseorang sebelum Kami mengutus Rasul.” Jadi ayat tersebut menjelaskan secara tegas tentang peniadaan perhitungan dan siksa terhadap seseorang sebelum kepadanya sampai (diutus seorang Rasul membawa risalah Ilahi).

2. Mu’tazilah berpendapat, bahwa akal manusia mampu menentukan hukum-hukum Allah tersebut sebelum datangnya syari’at. Sebab akal mampu menentukan sesuatu hal yang baik untuk dikejakan dan sesuatu yang harus ditinggalkan. Jadi, maupun yang baik dan buruk mampu dijangkau oleh akal fikiran manusia. Alasan mereka pun dari ayat yang sama seperti Ahlussunnah wal jama’ah. Mereka mengartikan bahwa kata “Rasul” itu memiliki tafsiran tersendiri yaitu akal. “Kami tidak akan mengazab sampai kami berikan akal kepadanya. “

3. Maturidiyyah berpendapat sebagai penengah dari pendapat keduanya. Menurut mereka, ada perbuatan yang zatnya baik dan buruk. Allah tidak memerintahkan manusia untuk melakukan perbuatan buruk, sebagaimana Allah pun juga tidak melarang manusia untuk melakukan perbuatan yang baik. Baik yang perbuatan baik maupun yang buruk bukan terletak dari zatnya itu sendiri, melainkan syara’lah yang berwenang menentukan yang baik dan buruknya.

2. Mahkum Fih
Ulama Ushul fiqih mendefinisikan Mahkum Fih sebagai objek dari sebuah hukum. Objek hukum yang dinyatakan sebagai perbuatan orang mukallaf yang terkait dengan perintah Syar’i yakni perintah Allah dan Rasulnya. Perintah tersebut berarti sebuah tuntutan untuk mengerjakan suatu perbuatan, tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan, memilih untuk mengerjakan suatu perbuatan. Perbuatan-perbuatan tersebut baik yang bersifat syarat, sebab, halangan, ‘azimah, rukhsah, sah serta batal. (Nasrun Haroen M.A, 1996 :292)
Semua hukum-hukum yang ada dalam syari’at Islam itu memiliki objek. Dan objek daripada hukum tersebut ialah perbuatan-perbuatan orang mukallaf. Dari perbuatan itulah muncul sebuah hukum-hukum sebagai pembatas atas perbuatan manusia tentang kewajiban, keharaman dan kemubahannya.
Contohnya tercantum pada Surat Al-Baqarah, 2:43 yang artinya:
“Dirikanlah olehmu sholat...(Q.S Al Baqarah, 2: 43)” Kewajiban dalam ayat ini berkaitan dengan perbuatan seorang mukallaf, yaitu kewajiban mendirikan shalat.
Di dalam surat lainnya yang menyatakan tentang kewajiban seorang mukallaf untuk melakukannya tercantum pada Surat Al-Maidah, 5:6 yang juga berhubungan dengan syarat sahnya mukallaf untuk melakukan ibadah shalat.
“Apabila kamu hendak mengerjakan sholat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku....”
B. Syarat – Syarat Mahkum Fih
Para ulama ushul Fiqih mengemukakan beberapa pendapat tentang syarat sahnya suatu Taklif (pembebanan hukum) kepada seorang mukallaf (orang yang dibebani hukum), yaitu: (Abdul Wahab Khalaf, 1968 :219), (Nasrun Haroen M.A, 1996 :295)
1. Perbuatan itu sungguh-sungguh diketahui oleh mukallaf sehingga ia dapat menunaikan tuntutan itu sesuai dengan yang diperintahkan. Hal ini berkaitan erat dengan tujuan mengapa seorang mukallaf diwajibkan untuk melakukannya. Mislanya, Seorang mukallaf tidak dituntut untuk mendirikan shalat, membayar zakat, mengerjakan haji, melakukan jihad, berinfk dll melainkan dia telah mengetahui secara baik hukum Allah yang terkait dengan hukum-hukum tersebut. Apabila mukallaf belum mengetahui tentang hukum-hukum Allah tersebut, maka titah Allah tersebut belum terkait dengan perbuatan mukallaf.

Pengetahuan mukallaf terhadap hukum Allah atas suatu perbuatan harus dibarengi dengan pengetahuannya tentang rukun, syarat, dan tata cara melaksanakannya. Oleh sebab itu para ulama memberikan penjelasan bahwa nash Al Quran yang bersifat mujmal atau global tidak bisa menjadi dasar taklif sampai ada penjelasannya. Misalnya, perinta shalat dalam Surat Al Baqarah. 2:43 di atas. Seorang mukallaf baru dapat melaksanakan perintah shalat apabila rukun, syarat dan tata caranya telah diketahui.

2. Mukallaf harus mengetahui dengan baik sumber taklif suatu perbuatan yang akan ia lakukan. Hal ini dimaksudkan agara pelaksanannya sebagai dasar atas ketaatan dan kepatuhan terhadap Allah SWT. Tujuan mukallaf melaksanakan hukum tersebut sesuai dengan tujuan Allah dalam taklif tersebut. oleh sebab itu, para ulama fiqih senantiasa mengemukakan dalil syar’i dalam pembahasan mereka terhadap suatu hukum, sehingga dapat menjadi hujjah bagi para mukallaf untuk melaksanakan hukum dengan ketaatan dan kepatuhan. Misalnya, orang gila dan anak kecil yang belum mengetahui dan bahkan tidak mengetahui hukum atas sesuatu, mereka tidak dibebani atas perlakuan hukum tersebut. Dan hal ini berhubungan dengan pengetahuan atas kemampuan akalnya yang terkait dengan maslah baligh dan berakalnya seseorang.

Para ulama ushul Fiqih tidak mensyaratkan bahwa setiap mukallaf harus mengetahui secara pasti dan mandiri hukum berdasarkan dalilnya, karena hal ini akan menyebabkan sulitnya hukum itu untuk dikerjakan atau seseorang tersebut akan mencari-cari alasan keberatannya untuk melaksanakan hukum tersebut.

3. Perbuatan itu mungkin dikerjakan atau ditinggalkan oleh Mukallaf. Akibat dari syarat ketiga ini, maka:

a. Jumhur ulama ushul fiqih menyatakan bahwa tidak boleh ada taklif terhadap sesuatu yang mustahil, baik kemustahilannya itu dapat dilihat pada zatnya, maupun kemustahilan itu dilihat dari luar zatnya. Kemustahilan ini bersdasarkan pada gambar eksistensi akal seperti adanya dua hukum yang bertolak belakang dalam satu taklif. Mislanya, dalam satu perbuatan ada dua ketentuan hukum pada waktu yang bersamaan dan tertuju kepada pribadi yang sama, yaitu wajib dikerjakan pada waktu yang sama dan pada saat yang sama pula haram untuk dilakerjakan. Hal seperti inilah, menurut ulama ushul fiqih tidak mungkin terjadi/ mustahil.

b. Para ahli ushul fiqih menyatakan bahwa tidak sah hukumnya seseorang melakukan perbuatan yang ditaklifnya untuk dan atas nama orang lain, karena hal ini adalah taklif yang bukan pada dirinya. Misalnya, seseorang tidak dibebani kewajiban untuk mengerjakan shalat atas nama atau untuk saudaranya, kecuali ada sebab tertentu seperti halnya orang tua yang meninggal dunia dan dia masih memliki hutang puasa, sebagai anak darinya, kita diwajibkan untuk menggantinya. Kesimpulannya yaitu seseorang tidak dimintai pertanggung jawaban atas perbuatan orang lain.

c. Tidak sah, menurut syara’, membebankan perbuatan yang bersifat fithri’, yang manusia tidak turut ikut campur di dalamnya dan terhadap perbuatan itu manusia tidak mempunyai hak pilih (ikhtiar). Mislanya, sikap marah, benci, takut, gembira dll. Perbuatan seperti ini, menurut para ulama, bukan atas ikhtiar dan kehendak manusia maka dari itu tidak ada taklif bagi perbuatan seperti itu.
Dari ketiga syarat tersbeut, muncul persoalan lain yang dikemukakan oleh ulama yaitu msalah masyaqqah (kesulitan) dalam taklif. Pertanyaanya adalah, apakah boleh ditetapkan taklif terhadap amalan yang mengandung musyaqqah? Dalam masalah ini para ulama ushul fiqih membagi musyaqqah tersebut dalam dua bentuk, yaitu:
1. Musyaqqah Mu’taddah, adalah kesulitan yang bisa diatasi oleh manusia tanpa membawa kemudharatan baginya. Kesulitan seperti ini tidak dihilangkan oleh syara’ karena seluruh perbuatan amalam dalam kehidupan ini tidak terlepas dari kesulitan tersebut. Misalnya, rasa lapar ketika berpuasa. Kesulitan seperti ini menurut ulama ushul fiqih berfungsi sebagai ujian terhadap kepatuhan dan ketaatan hamba dalam menjalankan taklif syara’.

2. Musyaqqah ghair mu’taddah, adalah suatu kesulitan yang biasanya tidak mampu diatasi oleh manusia, karena bisa mengancam jiwa, mengacaukan sistem kehidupan dan kemaslahatan bagi dirinya dan masyarakat. Dan pada umumnya kesulitan ini dapat menghalangi perbuatan yang bermanfaat. Misalnya, berpuasa siang dan malam secara terus menerus. Karena hal tersebut akan membebankan dirinya atas perbuatan yang tidak Allah perintahkan. Alasan ini dikemukakan para ulama ushul fiqih yang tercantum pada Surat Al-Hajj, 22:78 yang artinya:

“Dan Dia sekali-kali tidak mejadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan...”

Dalam hadits Rasulullah SAW dijelaskan, “Ambillah olehmu amalan-amalan yang mampu kamu kerjakan.” (HR. Bukhari, Muslim, Imam Malik, Abu Daud, Al- Nasa’i dan Tirmidzi dari Aisyah)


C. Macam- Macam Mahkum Fih
Para ulama ushul Fiqih membagi Mahkum fih dari dua segi, yaitu dari segi keberadaanya secara material dan syara’, serta dari segi yang terdapat dalam perbuatan itu snediri. (Nasrun Haroen M.A, 1996 :302)
1. Dari segi keberadaannya secara material dan syara’, mahkum fih terdiri atas:

a. Perbuatan yang secara meterial ada, tetapi tidak termasuk perbuatan yang terkait dengan syara’, seperti halnya makan, minum, tidur dll. Perbuatan-perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang eksis dilakukan mukallaf namun tidak dikategorikan dalam hukum syara’.
b. Perbuatan yang secara material ada dan menjadi sebab adanya hukum syara’, seperti perzinahan, pencurian, dan pembunuhan. Perbuatan ini menjadi sebab adanya hukum syaara’ yaitu hukum qishas.
c. Perbuatan yang secara material ada dan baru bernilai dalam syara’ apabila memenuhi rukun dan syarat yang ditentukan, seperti shalat dan zakat.
d. Perbuatan yang secara material ada dan diakui syara’, serta mengakibatkan adanya hukum syara’ yang lain, seperti halnya nikah, jual beli, dan sewa menyewa. Apabila memenuhi rukun dan syaratnya perbuatan itu, masing-masing mengakibatkan munculnya hukum syara’ yang lain. Yaitu halalnya berhubungan suami istri sebab adanya pernikahan.

2. Dilihat dari segi hak yang terdapat dalam perbuatan itu, maka mahkum fih dibagi menjadi empat bentuk, yaitu:

a. Semata-mata hak Allah, yaitu segala yang menyangkut kemaslahatan umum tanpa terkecuali. Menurut ulama ushul fiqih ada delapan macam yaitu: Ibadah Mahdhah/murni seperti rukun Islam yang lima; Ibadah yang mengandung makna santunan seperti zakat; bantuan atau santunan yang bermakna ibadah, seperti zakat hasil dari bumi; biaya atau santunan yang menandung makna hukuman, seperti kharaj (pajak bumi) yang dianggap sebagai hukuman bagi orang yang tidak ikut jihad; hukuman secara sempurna dalam bebagai tindak pidana, seperti berbuat zina (dera atau rajam); hukuman yang tidak sempurna, seperti seseorang yang tidak diberi hak waris karena membunuh pemilik harta terseut; hukuman yang mengandung makna ibadah, seperti kaffarat orang yang melakukan senggama di siang hari pada bulan Ramadhan; hak-hak yang harus dibayarkan, seperti kewajiban mengeluarkan seperlima harta terpendam dan rampasan perang.
b. Hak hamba yang terkait dengan kepentingan pribadi seseorang, seperti ganti rugi harta orang yang rusak, dll.
c. Kompromi antara hak allah dengan hak hamba, tetapi hak Allah di dalamnya lebih dominan, seperti hukuman untuk tindak pidana qadzaf (menuduh orang lain berbuat zina). Dari sisi kemaslahatan masyarakat, hak ini termasuk hak Allah, dari menghilangkan rasa malu terhadap masyarakat, ini termasuk hak pribadi seseorang. Dan menurut ulama hak ini dominan terhadap hak Allah.
d. Kompromi antara hak Allah dengan hak hamba, tetapi hak hamba di dalamnya lebih dominan, sepeti dalam masalah qishas. Hak Allah dalam qishas tersebut berkaitan dengan pemeliharaan keamanan dan penghormatan terhadap darah seseorang yang tidak halal dibunuh. Sedangkan hak pribadi hamba adalah menjamin kemaslahatan pihak ahli waris yang terbunuh. Akan tetapi dalam hal ini diserahkan pada ahli waris yang terbunuh dan mereka pun berhak menggugurkan hukumannya.

BAB III
KESIMPULAN

Kesimpulan dari penjelasan tentang Hakim dan Mahkum fih adalah suatu hukum itu ada, sebab adanya Si pembuat hukum yaitu Allah SWT yang menjadi sumber hukum pertama. Rasulullah SAW yang kemudian meneruskan dan menyebarkannya kepada ummat manusia, lebih-lebih pada mukallaf yang dibebani dengan sebuah hukum taklif. Hukum taklif memiliki objek yang diistilahkan sebagai Mahkum fih, yang berarti objek tersebut merupakan perbuatan dari seorang mukallaf. Dan ada banyak syarat- syarat yang menjadi acuan sah-nya Mahkum Fih dan juga ada banyak jenis daripada Mahkum Fih tersebut seperti yang telah dijelaskan.





BAB IV:
DAFTAR PUSTAKA

Haroen, Nasrun, 1996, Ushul Fiqih, Pamulang Timur Ciputat: Logos Publishing House.

Khalaf, Abdul Wahab, 1968, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Gema Risalah Press

0 komentar:

Posting Komentar