Pages

Kamis, 08 Desember 2011

Pengertian Hakim & Mahkum Fih, Syarat-Syarat & Macam-Macam Mahkum Fih

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sebagai seorang muslim kita dituntut untuk menguasai segala aspek yang berhubungan dengan pengamalan ibadah dalam agama, baik yang sifatnya wajib maupun sunnah. Hal inilah yang berkaitan erat dengan syariat Islam. Syariat yang mana setiap muslim harus memahami konsep ajarannya dan mengaplikasikan dengan mempraktikan secara riil dalam kehidupan. Namun, tak sedikit dari ummat muslim yang hanya mempu melakukan syariat-syariat tanpa memahami apa sejatinya makna yang terselip di setiap syariat-syariat tersebut. Tujuan apa yang harus dimengerti dengan adanya sebuah syariat dan apakah tugas kita sebagai seorang muslim hanya berstatus menggugurkan kewajiban dalam melakukannya tanpa ada efek yang berdampak positif bagi kehidupan seperti halnya bertambah iman dan khusnul khotimah. Di sinilah titik acuan yang kami jadikan latar belakang dalam pembuatan makalah ini. Menjadikan syariat sebagai pengaplikasian diri sebagai seorang muslim yang berstatus Mukallaf. Sebagai seorang mukallaf, kita diwajibkan untuk mengetahui lebih detail mengenai konsep-konsep yang ada dalam syariat, baik hukum yang wajib dilakukan, wajib ditinggalkan, sunnah dilakukan, sunnah ditinggalkan bahkan hukum yang diperbolehkan dalam melakukannya. Dalam makalah ini akan dijelaskan mengenai siapakan sumber segala hukum dan siapakan pula yang menjadi objek dari hukum tersebut serta syarat dan macam-macamnya.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini antara lain yaitu:
1. Apa definisi Hakim dan Mahkum Fih?
2. Jelaskan apa saja syarat-syarat dari pada Mahkum Fih?
3. Sebutkan macam-macam Mahkum Fih?

C. Tujuan Permasalahan
Tujuan dari pembahasan makalah ini adalah untuk memecahkan permasalahan yang terdapat dalam rumusan masalah, diantaranya yaitu:
1. Mengetahui tentang definisi Hakim dan Mahkum Fih
2. Mempelajari apa saja syarat – syarat Mahkum Fih
3. Dan menganalisa tentang macam- macam Mahkum
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Hakim dan Mahkum Fih

1. Hakim
Hakim didefiniskan menjadi dua pengertian:
a. Pembuat, yang menetapkan, yang memunculkan dan sumber hukum.
b. Yang menemukan, menjelaskan, memperkenalkan, dan menyingkap hukum. (Nasrun Haroen M.A, 1996 :285)
Hakim merupakan hal yang esensial dalam Ushul Fiqih, sebab hal tersebut berkaitan dengan siapakan yang berhak membuat dan menentukan sebuah hukum dalam syariat agama Islam. Hal ini berkaitan pula dengan pahala dan dosa; siapakan yang berhak mendatangkan pahala bagi muslim yang melakukan syariat dengan baik dan siapakah pula yang berhak menentukan dosa bagi pelanggarnya.
Dalam ilmu Ushul Fiqih, hakim disebut juga dengan syar’i. Hakim dari pengertian ini ialah Allah SWT sebagai penentu dan penguasa pertama atas segala sesuatunya. Dia pembuat hukum, sumber dari segala hukum yang berupa hukum taklifi (wajib, sunnah, haram, mubah dan makruh) dan juga hukum wadh’i (sebab, syarat, halangan, sah, batal, fasid, ‘azimah dan rukhsah). Hukum-hukum tersebut Allah titahkan bagi seorang mukallaf, yaitu orang Islam.
Jadi untuk definisi pertama hakim sebagai “pembuat” merujuk kepada Allah yang merupakan hakikat sumber utama adanya sebuah hukum dalam syari’at Islam. (Nasrun Haroen M.A, 1996 :292)
Dari pengertian hakim yang kedua berarti “yang menemukan, memperkenalkan dan menjelaskan hukum”, hal ini merujuk kepada sosok Rasulullah SAW sebagai sumber kedua setelah Allah SWT. Ulama Ushul Fiqih mendefinisikannya menjadi dua perbedaan dalam segi masa kehidupan Rasulullah SAW. (Nasrun Haroen M.A, 1996 :287)
1. Masa Muhammad setelah diangkat sebagai Rasulullah SAW.
Ulama ushul Fiqih berpendapat dan menyatakan bahwa hakim di sini ialah syari’at yang bersumber dari Allah SWT yang diturunkan dan dibawa oleh Nabi Muhammad SAW . Rasulullah yang menepati urutan kedua setelah Allah SWT dalam silsilah hakim syari’at Islam.
2. Masa Muhammad sebelum diangkat menjadi Rasulullah SAW.
Dalam hal ini timbul perdebatan di kalangan ulama tentang siapa yang menemukan, memperkenalkan, dan menjelaskan hukum. Sebagian ulama Fiqih, Ahlussunnah wal Jama’ah, berpendapa bahwa saat itu tidak ada hakim dan tidak ada hukum syar’i, sebelum Muhammad diangkat menjadi Rasul. Alasan mereka karena hukum tidak dapat diperoleh kecuali melalui Rasul, sementara akal tak mampu mencapainya. Sedangkan ulama Mu’tazillah berpendapat bahwa hakim itu pada hakikatnya adalah Allah Ta’ala, akal mampu menemukan dan menyingkapnya sebelum datangnya syara’. Perdebatan ini menimbulkan permasalahan, oleh para ulama Fiqih dikenal dengan istilah “Al-Tahsin wa Al-Taqbih”, yaitu menyatakan sesuatu itu baik atau buruk.
• Tahsin dan Taqbih
Banyak pengertian yang dilontarkan para ulama tentang makna keduanya, (Nasrun Haroen M.A, 1996 :288) yaitu antara lain:
1. Alhusnu yang berarti seluruh perbuatan yang sesuai dengan tabiat manusia, seperti membantu sesama. Sedangkan Qabih berarti sesuatu yang tidak disenangi oleh tabiat manusia, seperti mengambil harta orang lain.
2. Alhusnu berarti sifat yang sempurna baik pengetahuan dan kemuliaan. Sedangkan Qabih berarti sifat negatif yang berupa kekurangan seseorang, bodoh, kikir. Dalam pengertian ini para ulama berpendapat sesuatu hal yang dicapai oleh akal.
3. Alhusnu yang berarti pekerjaan yang boleh dikerjakan oleh manusia. Sedangkan Qabih ialah pekerjaan yang tidak dilakukan oleh manusia.
4. Alhusnu adalah apabila sesuatu dikerjakan maka orang yang mengerjakan mendapat pujian atau pahala, seperti taat. Sedangkan Qabih berarti kebalikannya.
Mengenai peran manusia atas kemampuan akal fikirannya untuk menentukan hukum sebelum turunnya syari’at, ada tiga pendapat yag dikemukakan oleh para ulama ushul Fiqih, yaitu: (Nasrun Haroen M.A, 1996 :289)
1. Ahlussunnah wal jama’ah berpendapat bahwa sebelum diangkatnya Rasulullah SAW dan turunnya syari’at, akal manusia tak mampu menetapkan hukum. Akal manusia tidak bisa mengetahui yang baik dan buruk tanpa perantara Rasul dan kitabnya. Alasan mereka tertera pada firman Allah surat Al-Isra’, 17: 15 yang artinya, “Kami tidak akan mengazab seseorang sebelum Kami mengutus Rasul.” Jadi ayat tersebut menjelaskan secara tegas tentang peniadaan perhitungan dan siksa terhadap seseorang sebelum kepadanya sampai (diutus seorang Rasul membawa risalah Ilahi).

2. Mu’tazilah berpendapat, bahwa akal manusia mampu menentukan hukum-hukum Allah tersebut sebelum datangnya syari’at. Sebab akal mampu menentukan sesuatu hal yang baik untuk dikejakan dan sesuatu yang harus ditinggalkan. Jadi, maupun yang baik dan buruk mampu dijangkau oleh akal fikiran manusia. Alasan mereka pun dari ayat yang sama seperti Ahlussunnah wal jama’ah. Mereka mengartikan bahwa kata “Rasul” itu memiliki tafsiran tersendiri yaitu akal. “Kami tidak akan mengazab sampai kami berikan akal kepadanya. “

3. Maturidiyyah berpendapat sebagai penengah dari pendapat keduanya. Menurut mereka, ada perbuatan yang zatnya baik dan buruk. Allah tidak memerintahkan manusia untuk melakukan perbuatan buruk, sebagaimana Allah pun juga tidak melarang manusia untuk melakukan perbuatan yang baik. Baik yang perbuatan baik maupun yang buruk bukan terletak dari zatnya itu sendiri, melainkan syara’lah yang berwenang menentukan yang baik dan buruknya.

2. Mahkum Fih
Ulama Ushul fiqih mendefinisikan Mahkum Fih sebagai objek dari sebuah hukum. Objek hukum yang dinyatakan sebagai perbuatan orang mukallaf yang terkait dengan perintah Syar’i yakni perintah Allah dan Rasulnya. Perintah tersebut berarti sebuah tuntutan untuk mengerjakan suatu perbuatan, tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan, memilih untuk mengerjakan suatu perbuatan. Perbuatan-perbuatan tersebut baik yang bersifat syarat, sebab, halangan, ‘azimah, rukhsah, sah serta batal. (Nasrun Haroen M.A, 1996 :292)
Semua hukum-hukum yang ada dalam syari’at Islam itu memiliki objek. Dan objek daripada hukum tersebut ialah perbuatan-perbuatan orang mukallaf. Dari perbuatan itulah muncul sebuah hukum-hukum sebagai pembatas atas perbuatan manusia tentang kewajiban, keharaman dan kemubahannya.
Contohnya tercantum pada Surat Al-Baqarah, 2:43 yang artinya:
“Dirikanlah olehmu sholat...(Q.S Al Baqarah, 2: 43)” Kewajiban dalam ayat ini berkaitan dengan perbuatan seorang mukallaf, yaitu kewajiban mendirikan shalat.
Di dalam surat lainnya yang menyatakan tentang kewajiban seorang mukallaf untuk melakukannya tercantum pada Surat Al-Maidah, 5:6 yang juga berhubungan dengan syarat sahnya mukallaf untuk melakukan ibadah shalat.
“Apabila kamu hendak mengerjakan sholat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku....”
B. Syarat – Syarat Mahkum Fih
Para ulama ushul Fiqih mengemukakan beberapa pendapat tentang syarat sahnya suatu Taklif (pembebanan hukum) kepada seorang mukallaf (orang yang dibebani hukum), yaitu: (Abdul Wahab Khalaf, 1968 :219), (Nasrun Haroen M.A, 1996 :295)
1. Perbuatan itu sungguh-sungguh diketahui oleh mukallaf sehingga ia dapat menunaikan tuntutan itu sesuai dengan yang diperintahkan. Hal ini berkaitan erat dengan tujuan mengapa seorang mukallaf diwajibkan untuk melakukannya. Mislanya, Seorang mukallaf tidak dituntut untuk mendirikan shalat, membayar zakat, mengerjakan haji, melakukan jihad, berinfk dll melainkan dia telah mengetahui secara baik hukum Allah yang terkait dengan hukum-hukum tersebut. Apabila mukallaf belum mengetahui tentang hukum-hukum Allah tersebut, maka titah Allah tersebut belum terkait dengan perbuatan mukallaf.

Pengetahuan mukallaf terhadap hukum Allah atas suatu perbuatan harus dibarengi dengan pengetahuannya tentang rukun, syarat, dan tata cara melaksanakannya. Oleh sebab itu para ulama memberikan penjelasan bahwa nash Al Quran yang bersifat mujmal atau global tidak bisa menjadi dasar taklif sampai ada penjelasannya. Misalnya, perinta shalat dalam Surat Al Baqarah. 2:43 di atas. Seorang mukallaf baru dapat melaksanakan perintah shalat apabila rukun, syarat dan tata caranya telah diketahui.

2. Mukallaf harus mengetahui dengan baik sumber taklif suatu perbuatan yang akan ia lakukan. Hal ini dimaksudkan agara pelaksanannya sebagai dasar atas ketaatan dan kepatuhan terhadap Allah SWT. Tujuan mukallaf melaksanakan hukum tersebut sesuai dengan tujuan Allah dalam taklif tersebut. oleh sebab itu, para ulama fiqih senantiasa mengemukakan dalil syar’i dalam pembahasan mereka terhadap suatu hukum, sehingga dapat menjadi hujjah bagi para mukallaf untuk melaksanakan hukum dengan ketaatan dan kepatuhan. Misalnya, orang gila dan anak kecil yang belum mengetahui dan bahkan tidak mengetahui hukum atas sesuatu, mereka tidak dibebani atas perlakuan hukum tersebut. Dan hal ini berhubungan dengan pengetahuan atas kemampuan akalnya yang terkait dengan maslah baligh dan berakalnya seseorang.

Para ulama ushul Fiqih tidak mensyaratkan bahwa setiap mukallaf harus mengetahui secara pasti dan mandiri hukum berdasarkan dalilnya, karena hal ini akan menyebabkan sulitnya hukum itu untuk dikerjakan atau seseorang tersebut akan mencari-cari alasan keberatannya untuk melaksanakan hukum tersebut.

3. Perbuatan itu mungkin dikerjakan atau ditinggalkan oleh Mukallaf. Akibat dari syarat ketiga ini, maka:

a. Jumhur ulama ushul fiqih menyatakan bahwa tidak boleh ada taklif terhadap sesuatu yang mustahil, baik kemustahilannya itu dapat dilihat pada zatnya, maupun kemustahilan itu dilihat dari luar zatnya. Kemustahilan ini bersdasarkan pada gambar eksistensi akal seperti adanya dua hukum yang bertolak belakang dalam satu taklif. Mislanya, dalam satu perbuatan ada dua ketentuan hukum pada waktu yang bersamaan dan tertuju kepada pribadi yang sama, yaitu wajib dikerjakan pada waktu yang sama dan pada saat yang sama pula haram untuk dilakerjakan. Hal seperti inilah, menurut ulama ushul fiqih tidak mungkin terjadi/ mustahil.

b. Para ahli ushul fiqih menyatakan bahwa tidak sah hukumnya seseorang melakukan perbuatan yang ditaklifnya untuk dan atas nama orang lain, karena hal ini adalah taklif yang bukan pada dirinya. Misalnya, seseorang tidak dibebani kewajiban untuk mengerjakan shalat atas nama atau untuk saudaranya, kecuali ada sebab tertentu seperti halnya orang tua yang meninggal dunia dan dia masih memliki hutang puasa, sebagai anak darinya, kita diwajibkan untuk menggantinya. Kesimpulannya yaitu seseorang tidak dimintai pertanggung jawaban atas perbuatan orang lain.

c. Tidak sah, menurut syara’, membebankan perbuatan yang bersifat fithri’, yang manusia tidak turut ikut campur di dalamnya dan terhadap perbuatan itu manusia tidak mempunyai hak pilih (ikhtiar). Mislanya, sikap marah, benci, takut, gembira dll. Perbuatan seperti ini, menurut para ulama, bukan atas ikhtiar dan kehendak manusia maka dari itu tidak ada taklif bagi perbuatan seperti itu.
Dari ketiga syarat tersbeut, muncul persoalan lain yang dikemukakan oleh ulama yaitu msalah masyaqqah (kesulitan) dalam taklif. Pertanyaanya adalah, apakah boleh ditetapkan taklif terhadap amalan yang mengandung musyaqqah? Dalam masalah ini para ulama ushul fiqih membagi musyaqqah tersebut dalam dua bentuk, yaitu:
1. Musyaqqah Mu’taddah, adalah kesulitan yang bisa diatasi oleh manusia tanpa membawa kemudharatan baginya. Kesulitan seperti ini tidak dihilangkan oleh syara’ karena seluruh perbuatan amalam dalam kehidupan ini tidak terlepas dari kesulitan tersebut. Misalnya, rasa lapar ketika berpuasa. Kesulitan seperti ini menurut ulama ushul fiqih berfungsi sebagai ujian terhadap kepatuhan dan ketaatan hamba dalam menjalankan taklif syara’.

2. Musyaqqah ghair mu’taddah, adalah suatu kesulitan yang biasanya tidak mampu diatasi oleh manusia, karena bisa mengancam jiwa, mengacaukan sistem kehidupan dan kemaslahatan bagi dirinya dan masyarakat. Dan pada umumnya kesulitan ini dapat menghalangi perbuatan yang bermanfaat. Misalnya, berpuasa siang dan malam secara terus menerus. Karena hal tersebut akan membebankan dirinya atas perbuatan yang tidak Allah perintahkan. Alasan ini dikemukakan para ulama ushul fiqih yang tercantum pada Surat Al-Hajj, 22:78 yang artinya:

“Dan Dia sekali-kali tidak mejadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan...”

Dalam hadits Rasulullah SAW dijelaskan, “Ambillah olehmu amalan-amalan yang mampu kamu kerjakan.” (HR. Bukhari, Muslim, Imam Malik, Abu Daud, Al- Nasa’i dan Tirmidzi dari Aisyah)


C. Macam- Macam Mahkum Fih
Para ulama ushul Fiqih membagi Mahkum fih dari dua segi, yaitu dari segi keberadaanya secara material dan syara’, serta dari segi yang terdapat dalam perbuatan itu snediri. (Nasrun Haroen M.A, 1996 :302)
1. Dari segi keberadaannya secara material dan syara’, mahkum fih terdiri atas:

a. Perbuatan yang secara meterial ada, tetapi tidak termasuk perbuatan yang terkait dengan syara’, seperti halnya makan, minum, tidur dll. Perbuatan-perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang eksis dilakukan mukallaf namun tidak dikategorikan dalam hukum syara’.
b. Perbuatan yang secara material ada dan menjadi sebab adanya hukum syara’, seperti perzinahan, pencurian, dan pembunuhan. Perbuatan ini menjadi sebab adanya hukum syaara’ yaitu hukum qishas.
c. Perbuatan yang secara material ada dan baru bernilai dalam syara’ apabila memenuhi rukun dan syarat yang ditentukan, seperti shalat dan zakat.
d. Perbuatan yang secara material ada dan diakui syara’, serta mengakibatkan adanya hukum syara’ yang lain, seperti halnya nikah, jual beli, dan sewa menyewa. Apabila memenuhi rukun dan syaratnya perbuatan itu, masing-masing mengakibatkan munculnya hukum syara’ yang lain. Yaitu halalnya berhubungan suami istri sebab adanya pernikahan.

2. Dilihat dari segi hak yang terdapat dalam perbuatan itu, maka mahkum fih dibagi menjadi empat bentuk, yaitu:

a. Semata-mata hak Allah, yaitu segala yang menyangkut kemaslahatan umum tanpa terkecuali. Menurut ulama ushul fiqih ada delapan macam yaitu: Ibadah Mahdhah/murni seperti rukun Islam yang lima; Ibadah yang mengandung makna santunan seperti zakat; bantuan atau santunan yang bermakna ibadah, seperti zakat hasil dari bumi; biaya atau santunan yang menandung makna hukuman, seperti kharaj (pajak bumi) yang dianggap sebagai hukuman bagi orang yang tidak ikut jihad; hukuman secara sempurna dalam bebagai tindak pidana, seperti berbuat zina (dera atau rajam); hukuman yang tidak sempurna, seperti seseorang yang tidak diberi hak waris karena membunuh pemilik harta terseut; hukuman yang mengandung makna ibadah, seperti kaffarat orang yang melakukan senggama di siang hari pada bulan Ramadhan; hak-hak yang harus dibayarkan, seperti kewajiban mengeluarkan seperlima harta terpendam dan rampasan perang.
b. Hak hamba yang terkait dengan kepentingan pribadi seseorang, seperti ganti rugi harta orang yang rusak, dll.
c. Kompromi antara hak allah dengan hak hamba, tetapi hak Allah di dalamnya lebih dominan, seperti hukuman untuk tindak pidana qadzaf (menuduh orang lain berbuat zina). Dari sisi kemaslahatan masyarakat, hak ini termasuk hak Allah, dari menghilangkan rasa malu terhadap masyarakat, ini termasuk hak pribadi seseorang. Dan menurut ulama hak ini dominan terhadap hak Allah.
d. Kompromi antara hak Allah dengan hak hamba, tetapi hak hamba di dalamnya lebih dominan, sepeti dalam masalah qishas. Hak Allah dalam qishas tersebut berkaitan dengan pemeliharaan keamanan dan penghormatan terhadap darah seseorang yang tidak halal dibunuh. Sedangkan hak pribadi hamba adalah menjamin kemaslahatan pihak ahli waris yang terbunuh. Akan tetapi dalam hal ini diserahkan pada ahli waris yang terbunuh dan mereka pun berhak menggugurkan hukumannya.

BAB III
KESIMPULAN

Kesimpulan dari penjelasan tentang Hakim dan Mahkum fih adalah suatu hukum itu ada, sebab adanya Si pembuat hukum yaitu Allah SWT yang menjadi sumber hukum pertama. Rasulullah SAW yang kemudian meneruskan dan menyebarkannya kepada ummat manusia, lebih-lebih pada mukallaf yang dibebani dengan sebuah hukum taklif. Hukum taklif memiliki objek yang diistilahkan sebagai Mahkum fih, yang berarti objek tersebut merupakan perbuatan dari seorang mukallaf. Dan ada banyak syarat- syarat yang menjadi acuan sah-nya Mahkum Fih dan juga ada banyak jenis daripada Mahkum Fih tersebut seperti yang telah dijelaskan.





BAB IV:
DAFTAR PUSTAKA

Haroen, Nasrun, 1996, Ushul Fiqih, Pamulang Timur Ciputat: Logos Publishing House.

Khalaf, Abdul Wahab, 1968, Ilmu Ushul Fiqih, Bandung: Gema Risalah Press

Sabtu, 11 Juni 2011

LINGUISTIK: SEMANTIK

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkembangan ilmu pengetahuan semakin hari semakin luas, terutama ilmu dalam bidang kebahasaan. Bahasa bersifat dinamis dan konvensional sehingga antara konsep kebahasaan dalam suatu masa dengan masa lainnya memiliki banyak perbedaan, khususnya perbedaan yang bersifat signifikan. Para peneliti dan ilmuwan dalam bidang ini pun banyak mengeluarkan temuan bahkan opini-opini baru tentang jati diri dari sebuah bahasa, bahasa apapun itu, khususnya bahasa Indonesia yang menjadi bahasa ibu kita sehari-hari. Walaupun bersifat konvensional dan arbitrer, kita pun berkewajiban untuk menelaah lebih jauh eksistensi dan ilmu murni yang melahirkan sebuah kebijaksanaan dalam berbahasa.
Mempelajari seluk beluk lahirnya sebuah bahasa merupakan kebutuhan mendasar bagi para cendekiawan, khususnya bagi kita yang termasuk dari sebagian banyak mahasiswa yang mempelajari tentang sastra dan bahasa. Maka dari itu, untuk menutupi kehausan kita dalam materi dan bahan tentang wujud sebuah bahasa, jalan terbaiknya adalah mempelajari lebih mendalam dan lebih urgen tentang jati diri sebuah ilmu kebahasaan itu sendiri.
Seperti telah dijelaskan sebelumya, dalam mata kuliah linguistik ini memiliki cakupan begitu luas bahkan beragam konsep kebahasaan yang dinilai dan diteliti hingga unsur terkecil dari bahasa itu sendiri. Mulai dari status linguistik sebagai ilmu, obyek dari pembelajaran linguistik, sejarah dan aliran linguistik, pun juga tataran linguistik yang semakin beragam objek kajiannya yaitu: fonologi, morfologi, sintaksis, semantik dan pragmatik. Tataran-tataran tersebut berkorelasi antara satu dengan yang lainnya. Dalam kajian tataran linguistik selanjutnya adalah semantik yang akan dijadikan materi makalah dalam diskusi kali ini.
Menurut Chomsky, Bapak linguistik transformasi menyatakan bahwa betapa pentingnya semantik dalam studi linguistik, maka darinya studi semantik yang sebagai bagian dari studi linguistik menjadi semakin marak. Semantik tidak lagi menjadi objek periferal, melainkan menjadi objek yang setaraf dengan bidang studi linguistik lainnya.

B. Rumusan Masalah

1. Apa pengertian dari semantik?
2. Apa saja yang dikaji dalam semantik?
3. Jenis makna apa yang dipelajari dalam semantik?
4. Apa relasi makan dalam semantik?
5. Apa kesesuaian antara sintaksis dengan semantik?

BAB II:
PEMBAHASAN

A.Pengertian Semantik

Semantik dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Yunani ‘sema’ (kata benda) yang berarti ‘tanda’ atau ‘lambang’. Kata kerjanya adalah ‘semaino’ yang berarti ‘menandai’ atau ‘melambangkan’. Yang dimaksud tanda atau lambang disini adalah tanda-tanda linguistik (Perancis : signé linguistique).
Menurut Ferdinan de Saussure (1966), tanda lingustik terdiri dari : (1) Komponen yang menggantikan, yang berwujud bunyi bahasa. (2) Komponen yang diartikan atau makna dari komponen pertama.
Kedua komponen ini adalah tanda atau lambang, dan sedangkan yang ditandai atau dilambangkan adalah sesuatu yang berada di luar bahasa, atau yang lazim disebut sebagai refereni / acuan / hal yang ditunjuk.
Jadi, Ilmu Semantik adalah Ilmu yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya serta ilmu tentang makna atau arti.

B. Jenis Makna

a. Makna Leksikal, Gramatikal, dan Kontekstual

Makna Leksikal adalah makna yang dimiliki atau ada pada leksem (kata) meski tanpa konteks apapun. Misalnya leksem air bermakna leksikal ‘sejenis zat cair yang di gunakan untuk keperluan sehari-hari’. Dengan contoh tersebut dapat dikatakan bahwa leksikal adalah makna yang sesuai dengan hasil observasi indra kita, atau makna apa adanya.

Berbeda dengan makna leksikal, makna gramatikal baru ada kalau terjadi proses gramatikal, seperti afiksasi, reduplikasi. Umpamanya, dalam proses afiksasi prefiks ber- dengan kata dasar baju melahirkan makna gramatikal ‘mengenakan atau memakai baju’.

Makna kontekstual adalah makna sebuah kata yang berada di dalam satu konteks. Misalnya, makna kata jatuh yang dibicarakan sebagai contoh adik jatuh dari sepeda, Dia jatuh cinta pada adikku.

Kata jatuh berarti sama. Artinya merasakan keadaan pindah mengarah ke bawah atau yang lebih dalam. Tetapi kata jatuh akan memiliki arti yang lebih jauh ketika konteks dalam suatu kalimat berbeda jika ada kalimat lain terdapat kata jatuh.
Makna konteks dapat juga berkenaan dengan situasi yaitu tempat, waktu, dan lingkungan penggunaaan bahasa itu.

b. Makna Referensial dan Nonreferensial

Sebuah kata atau leksem disebut makna referensial jika ada referensi atau acuannya. Kata-kata seperti kuda, merah, dan gambar adalah kata kata yang bermakana referensial karena ada acuannya dalam dunia fakta. Sebaliknya kata kata seperti dan, atau,karena adalah termasuk kata kata yang tidak bermakna referensial, karena kata kata itu tidak mempunyai referensi.

c. Makna Denotatif dan Konotatif

Makna denotatif adalah makna asli, makna asal atau makna sebenarnya yang dimiliki oleh sebuah leksem. Jadi, makna denotatif sama halnya dengan makna leksikal.
Makna konotatif disebut juga makna konotasional, makna emotif, atau makna evaluatif. Makna konotatif merupakan nilai komunikatif dari suatu ungkapan menurut apa yang diacu, melebihi dari dan di atas isinya yang murni konseptual. Makna ini dapat berubah menurut budayanya, masanya dan pengalaman individu. Misalnya, kata babi dapat memiliki makna konotasi positif pun juga memiliki makna konotasi negatif. Hal ini disesuaikan dengan budaya sekitar. Kata babi berkonotasi positif bagi masyarakat yang non Islam, sedangkan bagi agama Islam merupakan makna yang berkonotasi negatif.

d. Makna Konseptual dan Asosiatif

Makna konseptual biasa disebut juga makna denotatif, makna kognitif, makna ideasional, makna referensial atau makna proposisional. Makna ini sering kali disebut dengan makna yang sebenarnya. Jadi, makna konseptual adalah makna yang dimiliki oleh sebuah leksem atau kata terlepas dari konteks atau asosiasi apapun. Contoh kata kuda memiliki makna konseptual (sejenis binatang berkaki empat yang biasa dikendarai).
Makna asosiatif berhubungan dengan alam di luar bahasa. Makna meliputi makna konotatif, makna afektif, makna stilistik, makna reflektif, dan makna kolokatif. Dengan kata lain, makna asosiatif adalah makna yang sama dengan lambang atau perlambang yang digunakan oleh suatu masyarakat bahasa untuk menyatakan konsep lain, yang mempunyai kemiripan dengan sifat, keadaan, atau ciri yang ada pada konsep asal kata. Misalnya kata merah yang bermakna konseptual sejenis warna terang menyolok. Kata tersebut digunakan untuk perlambang keberanian atau di dunia politik yang menunjukkan paham atau golongan komunis.

e.Makna Kata dan Istilah

Setiap kata memiliki makna. Pada awalnya, makna yang dimiliki sebuah kata adalah makna leksikal, makna denotatif, atau makna konseptual. Dalam penggunaanya makna kata itu baru menjadi jelas kalau kata itu sudah berada dalam konteks kalimatnya atau konteks situasi. Kita belum tahu makna kata jatuh sebelum kata itu berada di dalam konteksnya. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa makna kata masih bersifat umum, kasar, dan tidak jelas.

Maka yang disebut istilah mempunyai makna yang pasti, yang jelas, yang tidak meragukan, meskipun tanpa konteks kalimat. Maka sering dikatakan bahwa istilah itu bebas konteks, sedangkan kata tidak bebas konteks. Yang perlu di ingat adalah bahwa istilah hanya digunakan dalam bidang keilmuan dan kegiatan tertentu.

Dalam perkembangan bahasa memang ada sejumlah istilah karena sering digunakan, lalu menjadi kosakata yang umum. Artinya, istilah itu tidak hanya digunakan di dalam bidang keilmuanya, tetapi juga telah digunakan secara umum (di luar bidangnya). Seperti istilah akseptor, spiral, akomodasi, virus telah menjadi kosakata umum; tetapi istilah morfem, alofon, dan variasi masih tetap sebagai istilah dalm bidangnya, belum menjadi kosakata umum.

f.Makna Idiom dan Peribahasa

Idiom adalah satuan ujaran yang maknanya tidak dapat ‘’diramalkan’’ dari makna unsur-unsurnya, baik secara leksikal maupun secara gramatikal. Biasanya dibedakan menjadi dua macam idiom, yaitu idiom penuh dan idiom sebagian. Idiom penuh adalah idiom yang semua unsur-unsurnya sudah melebur menjadi satu kesatuan, sehingga makna yang dimiliki berasal dari seluruh kesatuan itu. Seperti membanting tulang, menjual gigi, meja hijau. Sedangkan idiom sebagian adalah idiom yang sala satu unsurnya masih memiliki makna leksikalnya sendiri. Misalnya, buku putih yang bermakna ‘buku yang memuat keterangan resmi mengenai suatu kasus’.
Berbeda dengan idiom, peribahasa memiliki makna yang masih dapat ditelusuri atau dilacak dari makna unsur-unsurnya karena adanya ’’asosiasi’’ antara makna asli dengan maknanya sebagai peribahasa. Contoh, Seperti anjing dengan kucing yang bermakna ‘dua orang yang tidak pernah akur’. Memiliki makna asosiasi bahwa binatang yang namanya anjing dan kucing jika bersua memang selalu berkelahi, tidak pernah damai.

Idiom dan peribahasa terdapat pada semua bahasa yang ada di dunia ini, terutama pada bahasa-bahasa yang penuturnya sudah memilki kebudayaan yang tinggi. Untuk mengenal makna idiom tidak ada jalan lain selain dari harus melihatnya di dalam kamus; khususnya kamus peribahasa dan kamus idiom.

C. Relasi Makna

Relasi makna adalah hubungan semantik yang terdapat antara satuan bahasa yang satu dengan satuan bahasa lainnya. Satuan bahasa di sini dapat berupa kata, frase, maupun kalimat; relasi semantik itu dapat menyatakan kesamaan makna, pertentangan makna, ketercakupan makna, kegandaan makna, atau juga kelebihan makna. Dalam pembicaraan tentang tentang relasi makna ini mencangkup sinonim, antonim, polisemi, homonimi, hiponimi, ambiguiti, dan redudansi.

a. Sinonimi

Sinonim atau sinonimi adalah hubungan semantik yang menyatakan adanya kesamaan makna antara satu ujaran dengan satuan ujaran lainnya. Misalnya, antara kata betul dengan kata benar. Antara kata melihat dan memandang, dsb.
Relasi sinonim ini bersifat dua arah. Maksudnya, kalau satu satuan A ujaran kata bersinonim dengan satuan ujaran B, maka satuan ujaran B bersinonim dengan satuan ujaran A. Namun, kata yang bersinonim tidak selamanya memiliki makna sama atau persis. Tidak semua kata bisa ditukarkan ataupun disubstitusikan. Hal itu disebabkan karena beberapa faktor, antara lain yaitu:
Pertama, faktor waktu. Seperti halnya kata hulubalang bersinonim dengan kata komandan. Namun, kata hulubalang memiliki pengertian klasik sedangkan komandan tidak memiliki pengertian klasik. Secara kongkrit, kata hulubalang hanya cocok untuk konteks klasik sedangkan kata komandan tidak.
Kedua, faktor tempat atau wilayah. Misalnya kata saya dan beta yang keduanya bersinonim. Namun, kata saya dapat digunakan di mana saja. Sedangkan kata beta hanya cocok digunakan untuk wilayah Indonesia bagian timur.
Ketiga, faktor keformalan. Misalnya kata uang dan duit adalah dua buah kata yang bersinonim. Namun, kata uang digunakan dalam ragam formal dan tak formal, sedangkan duit hanya cocok untuk ragam tak formal.
Keempat, faktor sosial. Umpamanya, kata saya dan aku adalah kata bersinonim. Tetapi kata saya bersifat lebih general dan bisa digunakan di mana dan kepada siapa saja; sedangkan kata aku hanya dapat digunakan terhadap orang yang sebaya, yang dianggap akrab ataupun yang setara kedudukan sosialnya.
Kelima, bidang kegiatan. Umpamanya kata matahari dan surya. Kata matahari bisa digunakan dalam kegiatan apa aja, kata tersebut bersifat umum, sedangkan kata surya hanya cocok digunakan pada ragam khusus, terutama ragam sastra.
Keenam, faktor nuansa makna. Misalnya kata-kata melihat, melirik, menonton, meninjau dan mengintip adalah sejumlah kata yang bersinonim. Tetapi antara yang satu dengan yang lainnya tidak selalu dapat dipertukarkan, kerena masing-masing memiliki nuansa makna yang berbeda.

b. Antonimi

Antonim atau antonim adalah hubungan semantik antara dua buah satuan ujaran yang maknanya menyatakan kebalikan, pertentangan, atau kontras antara yang satu dengan lainnya. Misalnya, kata buruk dengan kata baik; kata mati berantonim dengan kata hidup, dsb.
Seperti halnya dalam konteks sinonimi, antonimi pun juga bersifat dua arah. Dilihat dari sifat hubungannya, maka antonimi dapat dibedakan atas beberapa jenis, antara lain:
Pertama, antonimi yang bersifat mutlak. Misalnya kata hidup dan kata mati mutlak berantonim. Sebab sesuatu yang hidup belum tentu mati, pun juga yang mati belum tentu hidup.
Kedua, antonimi yang bersifat relatif atau bergradasi. Seperti halnya kata besar dan kata kecil, jauh dan dekat, gelap dan terang. Jenis antonim ini bersifat relatif karena batas antara yang satu dengan lainnya tidak dapat ditentukan secara jelas.
Ketiga, antonimi yang bersifat relasional. Misalnya, antara kata membeli dan menjual, antara suami dan istri, antara guru dan murid. Antonim ini jelas memiliki hubungan atau relasi antara yang satu dengan lainnya.
Keempat, antonimi yang bersifat hirarkial. Umpamanya kata gram dan kilogram. Dua buah kata tersebut merupakan antonim yang berada dalam satu garis jenjang ukuran timbangan.

c. Polisemi

Polisemi adalah sebuah kata atau ujaran yang mempunyai makna lebih dari satu. Umpanya kata kepala yang setidaknya mempunyai makna (1) bagian tubuh manusia, (2) ketua atau pemimpin, (3) sesuatu yang berada di sebelah atas, (4) sesuatu yang berbentuk bulat, (5) sesuatu atau bagian yang sangat penting.
Dalam kasus polisemi ini, biasanya makna pertama yang didaftarkan di dalam kamus adalah makna yang sebenarnya, makna leksikal, makna denotatifnya atau makna konseptualnya.


d. Homonimi

Homonimi adalah dua buah kata yang bentuknya kebetulan sama; maknanya tentu saja berbeda, karena masing-masing merupakan kata atau bentuk ujaran yang berlainan. Misalnya kata bisa yang berartikan sanggup dengan makna bisa yang berartikan racun ular.
Pada kasus homonimi ini ada dua istilah lain yang dibicarakan, yaitu homograf dan homofon. Yang dimaksud dengan homograf adalah adanya kesamaan dalam otografi atau ejaannya tetapi ucapan dan maknanya berbeda. Misalnya, kata memerah yang berartikan sesuatu menjadi berwarna merah dengan memerah yang berartikan melakukan perah. Hal ini merujuk pada fonem, yaitu fonem /e/ dan fonem /ə/.
Sedangkan homofon adalah adanya kesamaan bunyi antara dua satuan ujaran tanpa memperhatikan ejaannya, apakah ejaannya sama ataukah beda. Misalnya kata bang yang berartikan panggilan kepada seseorang yang lebih tua, dengan bank yang berartikan tempat penyimpanan uang.
e. Hiponimi

Hiponim atau hiponimi adalah hubungan semantik antara sebuah bentuk ujaran yang maknanya tercakup dalam makna bentuk ujaran lain. Dalam hal ini, kata yang bersifat umum dan mampu membawahi kata-kata lainnya disebut dengan sub ordinat. Seperti halnya, anjing, ayam, kucing, sapi, dan burung adalah sub ordinat daripada hewan. Dari jenis hewan-hewan tersebut bisa dijadikan sub ordinat dari bangsa atau jenis hewan itu sendiri.

f. Ambiguiti

Ambiguiti atau ketaksaan adalah gejala dapat terjadinya kegandaan makna akibat tafsiran gramatikal yang berbeda. Tafsiran gramatikal ini umumnya terjadi pada bahasa tulis. Umpamanya, buku sejarah baru yang mempunyai banyak tafsiran yaitu (1) buku sejarah itu baru terbit, (2) buku itu memuat sejarah zaman baru. Kemungkinan makna (1) dan (2) itu terjadi karena kata baru yang ada dalam konstruksi kalimat tersebut.

g. Redudansi

Redudansi diartikan sebagai penggunaan yang berlebih-lebihan dalam menggunakan unsur segmental dalam suatu bentuk ujaran. Contohnya, kalimat bola itu ditendang oleh Dwika tidak akan berbeda dengan kalimat bola itu ditendang Dwika. Jadi, tanpa menggunakan preposisi oleh pun tidak berpengaruh dan merubah makna. Nah, penggunaan kata oleh inilah yang dianggap redudans atau berlebih-lebihan.


D. Perubahan Makna

Secara sinkronis makna sebuah kata atau leksem tidak akan berubah; tetapi secara diakronis ada kemungkinan dapat berubah. Maksudnya dalam masa yang relatif singkat, makna sebuah kata akan tetap sama, tidak berubah; tetapi dalam waktu yang relatif lama ada kemungkinan makna sebuah kata akan berubah. Ada kemungkinan ini bukan berlaku untuk semua kosakata yang terdapat dalam sebuah bahasa, melainkan hanya terjadi pada sejumlah kata saja. Macam-macam perubahan makna:
1). Makna Meluas
Makna Meluas adalah perubahan makna yang dialami sebuah kata yang dialami sebuah kata yang awalnya mengandung makna yang khusus,tetapi kemudian meluas maknanya.contoh: bapak, ibu, saudara, putra, putri, adik, kakak, layar, laksamana dan sebagainya.
2). Makna Menyempit
Makna menyempit adalah sebuah kata yang makna lamanya lebih luas dari makna yang baru. Contoh: pendeta, sarjana, dan sebagainya.

E.Medan Makna dan Komponen Makna

a.Medan Makna
Medan makna atau medan leksikal adalah seperangkat unsur leksikal yang maknanya saling berhubungan karena menggambarkan bagian dari bidang kebudayaan atau realitas dalam alam semesta. Misalnya: nama-nama warna, nama-nama perabot rumah tangga, atau nama-nama perkerabatan, yang masing-masing merupakan satu medan makna.

b.Komponen Makna
Setiap kata, leksem, atau butir leksikal tentu mempunyai makna. Makna yang dimiliki oleh setiap kata itu terdiri dari sejumlah komponen (yang disebut komponen makna) yang membentuk keseluruhan makna kata itu. Komponen makna ini dapat dianalisis, dibutiri atau disebutkan satu per satu, berdasarkan “pengertian-pengertian” yang dimilikinya.
Umpamanya, kata ayah memiliki komponen makna /+manusia/, /+dewasa/, /+jantan/, /+kawin/,dan /+punya anak/; dan kata ibu memiliki komponen makna /+manusia/, /+dewasa/, /-jantan/,/+kawin/,dan/+punya anak/.
*keterangan: Tanda + berarti memiliki komponen makna tersebut dan Tanda – berarti tidak memiliki komponen makna tersebut.
c. Kesesuaian Sintaksis dan Semantis
Dalam proses komposisi, atau proses penggabungan leksem dengan leksem, terlihat juga bahwa komponen makna yang dimiliki oleh bentuk dasar yang terlibat dalam proses itu menentukan juga makna gramatikal yang dihasilkannya. Namun sesuai tidaknya sebuah kalimat bukan hanya masalah gramatikal, tetapi juga masalah semantik.
Contoh:
(1). *Kambing yang Pak Udin terlepas lagi
Ketidakesesuaian kalimat tersebut adalah kesalahan gramatikal, yaitu adanya konjungsi yang antara kambing dan Pak Udin. Konjungsi yang tidak dapat menggabungkan nomina dengan nomina; tetapi dapat menggabungkan nomina dengan ajektifa. Misalnya menjadi kambing yang besar, atau kambing yang kurus. Lagipula dalam konstruksi yang menyatakan milik tidak perlu menggunakan konjungsi yang. Maka kalimat tersebut menjadi benar kalau dikatakan seperti kalimat berikut:
(1a). * Kambing Pak Udin terlepas lagi.
(2). * Segelas kambing minum setumpuk air.
Kalimat diatas tidak sesuai, bukanlah karena kesalahan gramatikal maupun informasi, melainkan karena kesalahan semantik. Kesalahan itu berupa tidak adanya persesuaian semantik diantara konstituen-konstituen yang membangun kalimat itu. Frase *segelas kambing pada kalimat di atas tidak sesuai karena kata segelas memiliki komponen makna /+satuan wadah/, /+benda cair/, /+dan terhitung/; padahal kata kambing berkomponen makna /-benda cair/ dan /+terhitung/. Jadi mana mungkin menempatkan benda tidak cair dan terhitung pada wadah untuk benda cair yang tidak terhitung. Begitu juga dengan frase *setumpuk air. Kata setumpuk memiliki memiliki komponen makna /+satuan hitungan/ dan /-benda padat/; padahal kata air tidak memiliki komponen benda padat itu. Kalimat yang benar adalah:
(2a). * Seekor kambing minum seember air.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Konklusi dari pemaparan tentang semantik adalah bahwa kata semantik berasal dari bahasa Yunani yang beristilah Ilmu yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya serta ilmu tentang makna atau arti.
Selain itu semantik memiliki banyak jenis makna dan relasi makna antara satu leksem dengan leksem lainnya, pun juga antara kalimat dengan kalimat lainnya. Bahkan korelasi antara tataran linguistik yang meliputi fonologi, morfologi, sintaksis dan pragmatik dengan semantik sangatlah berkaitan satu sama lain.
Secara singkat, setiap kata memiliki arti atau makna berbeda di setiap konteks yang dibicarakan tergantung pada hubungan kata tersebut dengan kata yang menggandeng sebelum dan sesudah kata tersebut.

B. Daftar Pustaka
-Chaer, Abdul. 2007. Linguistic Umum. Jakarta; Rineka Cipta-
-Herniti, Eneng dkk. 2005. Naskah Buku Ajar Bahasa Indonesia. Yogyakarta; Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga-
-www.google.com-

Jumat, 03 Juni 2011

Penghimpunan Al Quran


A. Pendahuluan

Perkembangan zaman disertai canggihnya teknologi dan semakin beragamanya ilmu pengetahuan menimbulkan banyak pertanyaan di benak para ilmuan, khususnya sarjana muslim tentang kronologis penyampaian dan penghimpunan kitab suci Al Quran. Pasalnya sifat kritisisme telah timbul di setiap pribadi para pelajar Islam. Sehingga bagi mereka, baik yang menyangkut konsep beragama maupun kitab sucinya harus diketahui secara menyeluruh, artinya tidak setengah-setengah dalam memahami atau mengetahui konsep keislamannya. Hal inilah yang menjadi tolak ukur terpenting bagi sarjanawan muslim. Maka dari itu, sikap eksistensi diri dalam melebur apa-apa yang menjadi ketidakmengertian harus mereka lakukan dengan tujuan untuk menemukan sebuah titik temu yang bersifat singkronisme antara paham yang telah termaktub dengan yang mengambang dalam logika.
Permasalahan ini dapat terselesaikan dengan cara penelitian lebih lanjut oleh mereka tentang apa yang menjadi sebuah pertanyaan besar. Sikap tersebut mampu memudahkan mereka dalam pemahaman Islam yang lebih mendalam. Terkadang penelitian secara letterlek yang bersumber dari kitab suci Al Quran itu sendiri pun masih belum memuaskan mereka dalam proses dan hasil penelitiannya. Sehingga dibutuhkan bukti-bukti nyata lainnya dari alam sekitar yang menjadi penguat tentang pencarian kebenarannya. Khususnya perihal penghimpunan ayat-ayat suci Al Quran yang sejauh ini masih terjadi simpang-siur di antara kaum ilmuan sarjana muslim. Rumusan masalah dalam makalah mengenai proses penghimpunan Kitab Suci Al Quran dari zaman Rasulullah SAW hingga saat ini. Dimuai dari penghimpunan Al Quran dari aspek menghafalkan dan menuliskan di masa Rasulullah, selanjutnya penghimpunan di masa khalifah Abu Bakar, kemudian penghimpunan di masa khalifah Utsman bin ‘Affan, tentang kemurnian dan keragu-raguan terhadap Al Quran dan pendapat kita tentang sikap sebagai seorang muslim dalam menjaga keotentikan Al Quran. Berikut ini penjelasannya:

B. Pembahasan

1. Penghimpunan di Zaman Nabi
Teori yang berkembang luas di kalangan sarjana muslim bahwa bangsa Arab adalah bangsa yang mayoritas masyarakatnya buta aksara dan bodoh. Hal inilah yang menjadi penelitian fundamental bagi para sarjana muslim. Akankah kaum yang notabene masyarakatnya yang buta aksara dan bodoh mampu menghimpun dan mengkodifikasikan ayat-ayat suci Al Quran?
Sebelum kelahiran Nabi Muhammad SAW telah ditemukan bukti arkeologis berupa prasasti yang sedikit memberikan titik pencerahan kepada para ilmuwan muslim di tanah Arab. Seperti halnya di abad ke-3 ditemukan prasasti yang berbahasa Arab ditiga sketsa kasar yang tertera pada tembok suatu kuil di Siria. Prasasti yang lebih awal dari kehadiran Nabi memang belum ditemukan di sekitar Mekkah.
Jamm’ul Quran adalah salah satu istilah yang dicetuskan oleh para sarjana muslim sebagai teknis pengumpulan wahyu-wahyu. Teknis tersebut dibagi menjadi dua yaitu: pemeliharaan dalam penyimpanannya ke dalam “dada” manusia atau menghafalkannya; dan mengabadikan seca tertulis di atas berbagai jenis bahan untuk menulis.

2. Penghimpunan dalam arti menghafalnya

Wahyu Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW pada faktanya dipelihara dari kemusnahan. Salah satu caranya ialah menyimpannya ke dalam “dada manusia” atau menghafalkannya.
Pada mulanya, ayat-ayat suci Al Quran Al Karim dipelihara dalam ingatan Nabi dan para sahabatnya. Tradisi hafalan dalam masyarakat Arab memungkinkan terpeliharanya Al Quran cara semacam ini. Jadi setelah menerima suatu wahyu, Nabi lalu menyampaikannya kepada pengikutnya (para sahabat) dan kemudian menghafalkannya. Sesuai dengan firman Allah SWT;
يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنزِلَ إِلَيْكَ مِن رَّبِّكَ وَإِن لَّمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ وَاللّهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ إِنَّ اللّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
Artinya: “Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir.” (QS. Al-Ma’idah/5: 67)
Para sahabat telah dikenal dengan kencintaan dan semangat mereka dalam menghafal Al Quran. Dalam kitab sahih Al Bukhori telah dikemukakan adanya tujuh huffadz di masa para sahabat, mereka adalah Abdullah bin Mas’ud, Salim bin Ma’qal; bekas budak Abu Hudzaifah, Muaz bin Jabal, Ubai bin Katab, Zaid bin Tsabit, Abu Zaid bin Sakan dan Abu Darda.

a. Penghimpunan dalam arti menulisnya

Kendati diwahyukan secara lisan, Al Quran sendiri secara konsisten menyebut sebagai kitab tertulis. Hal ini memberikan indikasi bahwa wahyu tersebut tercatat dalam tulisan. Pada dasarnya, ayat-ayat Al Quran tertulis sejak awal perkembangan Islam. Tradisi tulis menulis mulai berkembang di masyarakat Mekkah, mungkin bisa ditafsirkan tulis menulis di Mekkah masih asing atau baru. Sebagian besar bukti tidak langsung dari Al Quran, justru memperlihatkan keakraban orang Mekkah maupun Madinah dengan tulis menulis atau peralatanya yang termasuk salah satu bukti nyata, yaitu perniagaan. Dalam perniagaan tersebut terdapat banyak interaksi yang melalui media tulisan.
Menurut Al Baladzuri, pada masa Nabi Muhammad SAW hanya terdapat 17 orang lelaki-ditambah segelintir wanita- yang bisa menulis. Tetapi pernyataan ini sangat tidak masuk akal, sebab Nabi Muhammad SAW telah menunjuk beberapa sahabat yang ditunjuk untuk menuliskan wahyu, seperti Zaid bin Tsabit, Ali bin Abi thalib, Muawiyah bin Abu Sufyan, Ubai bin Ka’ab dan masih banyak para sahabat lainnya.
Zaman dahulu tidak mengenal kertas sebagai media untuk menuliskan sesuatu, namun banyak media alternatif lainnya yang digunakan untuk menghimpun ayat-ayat suci Al Quran. Hal inilah yang menarik dalam penghimpunan Al Quran di zaman Rasulullah SAW. Sejarah mengatakan bahwa media untuk penulisannya wahyu tersebut berupa lontar, batu, kertas kulit binatang ataupun dinding-dinding goa, dsb.
Dalam Al Quran dijelaskan tentang bahan-bahan tulis menulis dalam penghimpunan ayat-ayat suci Al Quran. Seperti dalam surat Al An’am/6 ayat 91:
“Dan mereka tidak menghormati Allah dengan penghormatan yang semestinya, di kala mereka berkata: "Allah tidak menurunkan sesuatupun kepada manusia." Katakanlah: "Siapakah yang menurunkan kitab (Taurat) yang dibawa oleh Musa sebagai cahaya dan petunjuk bagi manusia, kamu jadikan kitab itu lembaran-lembaran kertas yang bercerai-berai, kamu perlihatkan (sebahagiannya) dan kamu sembunyikan sebahagian besarnya, padahal telah diajarkan kepadamu apa yang kamu dan bapak-bapak kamu tidak mengetahui(nya) ?" Katakanlah: "Allah-lah (yang menurunkannya)", kemudian (sesudah kamu menyampaikan Al Quran kepada mereka), biarkanlah mereka bermain-main dalam kesesatannya.”
Rujukan kata Qirthas dalam bentuk plural yakni Qaraths yang menyiratkan lembaran-lembaran kertas yang berupa lontar sebagai media untuk menuliskan ayat-ayat suci Al Quran. Hal ini juga dibuktikan dalam surat yang sama di ayat ke-7 yang mengacu pada sebuah kitab terbuat dari sebuah lontar. Barangkali kitab jenis inilah yang merujuk kepada Al Quran.

2. Penghimpunan pada masa Abu Bakar

Abu bakar adalah salah satu sahabat Nabi yang termasuk dalam jejeran Khulafaur Rasyidin. Masa pemerintahan yang pertama setelah Rasulullah SAW wafat dipercayakan kepada Abu Bakar oleh masyarakat. Pada masa kekhalifahan Abu Bakar terjadi beberapa pertempuran (dalam perang Ridda) yang mengakibatkan tewasnya beberapa penghafal Al-Quran dalam jumlah signifikan. Umar bin Khattab saat itu merasa sangat khawatir akan keadaan tersebut. Sebab kejadian itu Dia meminta Abu Bakar untuk mengumpulkan seluruh tulisan ayat-ayat Al Quran yang saat itu tersebar di antara para sahabat. Abu Bakar lantas memerintahkan Zaid bin Tsabit sebagai koordinator pelaksanaan tugas tersebut.
Abu Bakar mengatakan kepada Zaid bin Tsabit: “Sesungguhnya Engkau adalah pemuda yang cerdik, kami tidak pernah menuduhmu sesuatupun, dan Engkau dahulu penulis wahyu Rasulullah, maka periksalah Al Qur’an yang ada sekarang.” Cara terefektif yang dilakukan Zaid bin Tsabit dalam penghimpunan Al Quran adalah dari sumber hafalannya. Dia termasuk salah satu sahabat yang ditugaskan Nabi SAW untuk menghafal Al Quran. Kemduian Ayat-ayat Al Quran tersusun rapi dalam sebuah mushaf. Dan hasilnya diserahkan oleh Zaid bin Tsabit kepada Abu Bakar. Dan Abu Bakar menyimpannya hingga wafat.

3. Penghimpunan pada Masa Utsman

Selain penghimpunan yang dilakukan di masa khalifah Abu Bakar, penghimpunan Al Quran juga dilakukan di masa khalifah Ustman bin ‘Affan. Ustman mengkodifikasikan Al Quran berbentuk mushaf, yang dikenal dengan mushaf ustmani. Dan perlu kita ketahui bahwasanya kitab suci Al Quran yang kita ada di tangan kita dan kita gunakan saat ini merupakan wujud Al Quran yang dihimpun oleh khalifah Ustman.
Berbagai metode yang dilakukan Utsman dalam penghimpunan ayat-ayat suci Al Quran. Tentunya berbeda dengan konsep penghimpunan Al Quran di masa Abu Bakar. Baik dari segi teknisi, dari segi jumlah kordinator penghimpunannya, dari segi sumber suhufnya, dan dari jumlah naskah yang disahkan untuk dijadikan sumber.
Khalifah Utsman bin ‘Affan mempercayakan kepada dua belas orang untuk mengurusi dengan mengumpulkan atau menghimpun ayat-ayat suci Al Quran, mereka adalah Sa’ad bin Al-As, Nafi’ bin Zubair bin Amr bin Naufal, Ubbay bin Ka’ab, Abdullah bin Zubair, Zaid bin Tsabit, Abrur Rahman bin Hisyam, Khatir bin Aflah, Anas bin Malik, Abdullah bin Abbas, Malik bin Abi Amir, Abdullah bin Umar, dan Abdullah bin Amr bin Al-As.
Banyak ilmuwan yang menguras waktu untuk membandingkan atau mencari perbedaan antara mushaf Utsmani dengan mushaf-mushaf lainnya. Dan ditemukan perbedaan di anataranya yaitu:
1. Mushaf dihiasi dengan perak
2. Ia mengandung pemisah surat tinta berwarna hitam sepanjang penyambung yang dihiasi seperti rantai memanjang sepanjang garis.
3. Ia juga mempunyai pemisah ayat dalam bentuk titik.
4. Dsb.
Inilah tahapa pertama penghimpunan Al-Qur’an. Al-Qur’an tersalin dalam beberapa mushaf , dan walaupun tidak terlalu esensial terdapat perbedaan antara satu mushaf dengan lainnya. Hingga pada masa pemerintahan Khalifah Utsman, kaum muslimin terus melanjutkan ekspansi dakwahnya sehingga kaum muslimin merasa perlu untuk menyatukan Al-Qur’an dalam satu mushaf.
Usaha Utsman mengarah pada sebuah keberhasilan dalam penghimpunan Al Quran. Hal ini ditandai oleh dua hal: pertama, tidak ada mushaf di provinsi Muslim kecuali mushaf Ustmani yang telah menyerap ke darah daging mereka; dan kedua, mushaf atau kerangka teks mushafnya dalam jangka waktu 14 abad tidak bisa dirusak alias abadi. Susungguhnya manifestasi Kitab Suci Al Quran adalah benar-benar suatu keajaiban.

4. Kemurnian Al Quran

Kemurnian Al Quran? Dijamin oleh Allah sepanjang masa. Dalam surat Yunus ayat 37 menjelaskan bahwa Al Quran bukanlah buatan atau rekayasa manusia, ia merupakan karya asli Allah SWT sebagai wahyu kepada Nabi SAW:
“Tidaklah mungkin Al Quran ini dibuat oleh selain Allah; akan tetapi (Al Quran itu) membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya dan menjelaskan hukum-hukum yang telah ditetapkannya, tidak ada keraguan di dalamnya, (diturunkan) dari Tuhan semesta alam.”
Jaminan Allah atas keaslian Al Quran terbukti bahwa Al Quran tidak pernah mengalami perubahan di seluruh dunia. Baik dari segi teks, huruf, ayat dan susunannya sama baik di negara Islam maupun tidak. Hal ini didukung oleh beberapa faktor yang menyebabkan terpeliharanya keotentikan kitab suci Al Quran, seperti halnya Banyak para penghafal Al Quran, sebab bahasa Al Quran adalah bahasa yang mudah untuk dibaca dan dihafal.
Sesuai dalam kalam Allah SWT,
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (QS. Al Hijr/15:9)

5. Beberapa keragu-raguan terhadap Al Quran

Banyak kaum khususnya kaum orientalis yang meragukan akan keaslian dan kebenaran Al Quran. Hal ini terbukti sebab mereka beranggapan bahwa Al Quran merupakan bahasa manusia, dan hanya bersumber dari ucapan Nabi SAW. Jelas-jelas pendapat mereka sangatlah bertentang dengan kebenaran yang ada. Banyak sumber da bukti-bukti bahwa Al Quran bukanlah sebuah kitab yang terdapat keragu-raguan di dalamnya. Sesuai dengan firman Allah SWT,
ذَلِكَ الْكِتَابُ لاَ رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِّلْمُتَّقِينَ
“Kitab Al Quran ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.” (QS. Al Baqarah/2:2)
Beberapa ilmuwan barat yang meragukan dan mempermasalahkan meontentikan Al Quran sebagai kitab suci. Salah satunya adalah orientalis asal Prancis, Sivestre de sacy mengemukakan dugaan kepalsuan dalam penghimpunan ayat-ayat Al Quran. Di mengatakan bahwa Abu Bakar merekayasa sebagian ayat-ayat Al Quran dalam proses pengumpulannya. Ilmuwan tersebut mempermasalahkan berita tentang wafatnya Nabi SAW. Dia berargumen bahwa adanya ketidaksingkronisasi antara beberapa ayat dengan ayat-ayat lainnya yang menceritakan tentang kehidupan Nabi. Namun, secara historis, Abu Bakar tidak mungkin merekayasa dalam proses pengumpulannya sebab kesesuaiannya dengan konteks sejarah. Bukti lainnya, Abu Bakar merupakan salah satu sahabat Nabi yang memiliki kedekatan emosional secara intim dengan Beliau, sehingga kemungkinan dalam pemalsuan dalam pengumpulannya sangatlah kecil bahkan dikatakan tidak mungkin.

6. Menurut pendapat Anda, apa peran kita sebagai kaum muda muslim dalam menjaga keotentikan Al Quran?

Sebagai generasi penerus muslim yang berpengaruh di masa depan, cara efektif untuk memelihara keotentikan kitab suci Al Quran ialah dengan cara pemerhatian lebih kepadanya. Hal ini memiliki arti luas yang dipersempit kepada dua cara, yakni: menghafalkannya seperti cara-cara yang dilakukan oleh para sahabat Nabi; dengan membumikan Al Quran ke dalam “dada”, kemudian yang kedua dengan cara pemahaman lebih akan makna dan maksud ayat-ayat Al Quran, baik yang bersifat eksplisit maupun implisit. Cara kedua ini merujuk pada sebuah pengamplikasian dan realisasi makna yang terkandung dalam Al Quran. Tentunya aplikasi makna dalam management dan konsep kehidupan kita sehari-hari.

C. Kesimpulan

Kesimpulan dari keseluruhan topik penghimpunan Al Quran adalah sebuah proses yang melatarbelakangi penyampaian Al Quran dari tangan Rasulullah SAW kepada seluruh ummat Islam hingga saat ini. Penghimpunan Al Quran tidak hanya dilakukan dalam satu periode, melainkan dilanjutkan di masa-masa setelah Rasulullah SAW wafat. Diawali dari penugasan Rasulullah SAW kepada sahabat Ali bin Abi Thalib sebelum Beliau wafat untuk mengumpulkan mushaf-mushaf Al Quran yang disimpannya di bawah tempat tidur Beliau hingga diteruskan kepada sahabat-sahabat lainnya seperti halnya; Abu Bakar dan Ustman bin ‘Affan. Sebenarnya banyak sahabat-sahabat yang menghimpun mushaf Al Quran, akan tetapi dalam makalah ini disoroti sahabat dalam garis besarnya, yaitu sahabat-sahabat yang lebih berpengaruh terhadap perkembangan ajaran Islam. Dan perlu diketahui bahwasanya Al Quran yang kita gunakan hingga saat ini di seluruh dunia merupakan mushaf dari khalifah Utsman biin ‘Affan.

sajak-sajakku kembali menetas di bilik singgahsana tinta



Kubah Diri

Altar jiwa terbungkus benalu bisa
Angkara menyeruak di balik sempoyongan permadani
Lunglai dan rapuh terbawa mesiu bising di pelataran jalan buntu
Lembut perangai mulia begitu diharap
Jelajah hati nan bijak bersuara dalam harapan semu
Dia mulai tertatih-tatih menuju puncak kubah
Adakah rintihan terdengar di setiap seretan langkah?
Kubah diri yang dicari
Dalam lempengan-lempengan bijak kelembutan diharap
Antara keji, mungkar dan perkara misteri
O, dia mampu tak abaikan kemuliaan
Bersama riuh jati diri yang dicari
Tinggi kubah jelmakan putus asa dalam dirinya
O, pernahkah kau ingat ayat itu ketika dia terdiam?
Maafkan, hancurkan batu kekerasan dalam permata hati
Cahaya itu hadir sela-sela kepasrahan dia jalani
Karena kubah diri sungguh bertahta di kursi kerajaan-Nya
O, tataplah mungkar tuk dia cengkram
Ingatlah! Dia dan kubah dirinya menjulang di atas penghalang


Negeri Biadab

Tengok kanan kirimu terhampar jasad remuk redam
Menyeruak anjing mengitari jalanan kota bersimbah duri
Di manakah negeri kau junjung akhlak dimensi?
Hthh, kebusukan menuai dalam neraka jahannam
Biarkah kau tusuk jari-jemarimu dengan pisau kebajikan
Satu waktu tertoreh bias asa yang kau simpan
Kau pahat dinding bumi negerimu dengan janji-janji keabadian
Negerimu itu rindukan tetes demi tetes ketentraman
Bisakah kau dengar bisikannya setiap jam berdenting?
Ah, kau ini hanya letakkan sadarmu di pundak rusa
Oh, pantas saja negerimu biadab!
Tak tahukah kau bahwa neraka menanti kehancuran negeri tak kenal akhlak dimensi
Maka kuingatkan saja kau dengan waktu
Ku kenalkan saja kau dengan mizan yang menunggu
Negeri biadab bukan sahabat dalam hening akhirat
Buka mata dahimu, rasakan mulut hatimu
Distorsi kehidupan itu tak laku
Sejenak kau kan tahu,
Tentang jalan yang selalu tersemai dengan pengajaran kalbu
Dan Negeri biadab itu kan terhalang dari anjing-anjing semu




6 masa

Pusara bumi mengitari semesta bervolum kasturi
Awan kelabu bergemul lalui ilalang langit
Lihai gemulai sang nada dunia alurkan puisi-puisi malam
Malam berganti siang, senja pun berganti fajar
Tuhan ciptakan makhluk cakrawala dengan 6 masa
Bintang-gemintang bergemuruh dalam rawa keindahan
Rembulan penyempurna kesetiaan bintang pada langitnya
Fajar merekah, kicau burung senadakan kata, dan sepoi angin lembutkan hawa
Ialah nafas penghidupan bagi para makhluk yang bertahta
Rerimbunan hijau terhampar ruah di ladang-ladang basah
Air mengarus ke ulu samudra
Ikan-ikan menari lemah gemulai bercumbukan karang
Mereka bertasbih memuja pencipta
Tak pernah tersanksikan akan semesta penciptaan

Zakariya di mihrab

Katup nadi sematkan keyakinan dekat sanubari
Telisik arti-mengarti ketika ajaran-Mu kian melekat di kisi-kisi irama
Kau awali pada Zakariya di mihrab
Pemelihara janur nazar luaskan arti ajaran-Mu
Lewati surat wahyu yang Kau tuangkan dalam cawan hidup
Ketika itu Kau sematkan pendidikan baja
Pada setiap mujahid Kau temui hati dengan hati
Al-Imran Kau jadikan jembatan sempurnakan pengetahuan
Menanam saling mengetam dalam logika setiap insan
Zakariya mengulum bumi dengan otak dan hati
Sebagai warisan dedukasi tinggi pada penerus ajaran tersampaikan
Sebab dunia tercerahkan oleh ilmu pengetahuan


Batu

Bulir,
Air,
Hujan,
Menetes,
Perlahan,
Cumbui batu-batu kaku
Hitam pekat
Akhirnya,
Retak,
Terkikis,
Kelu,
Pendidikan itu batu
Laksana tetesan demi tetesan hujan membuka tabir sains ibnu hajar

Senin, 09 Mei 2011

Penelitian Bahasa dan Sastra dalam Kajian Keislaman


Ilmu bahasa dan dalam berbahasa tidak lepas dari logika. Ini terbukti sejak awal oleh para perumus ajaran Islam, sehingga muncullah ilmu-ilmu nahwu, balaghah dan ushul fiqh. Ilmu tersebut mengandung banyak sekali pembahasaan kebahasaan, semisal bahwa perintah pada dasarnya memberikan pengertian kewajiban dan larangan menunjukkan pengertian keharaman.
Dari sini lalu menjadi jelas bahwa penelitian yang menggunakan teks tidak dapat meninggalkan pengetahuan kebahasaan dan kesusasteraan. Penelitian kesusasteraan di Universitas Islam mestilah dikaitkan dengan keperluan untuk memahami dengan lebih baik sumber-sumber agama yang berupa teks (tertulis atau lisan). Selanjutnya akan dibicarakan perbedaan dan persamaan, dalam hakikat, antara teks suci dan karya sastra yang menjadi dasar pengembangan teori-teori literer. Pada bagian akhir dari tulisan ini akan diberikan contoh kajian kesusasteraan terhadap Al Quran yang lebih merupakan penyampaian problem daripada penyelesaian.
• Teks Suci dan Karya Sastra
Salah satu problem utama yang dihadapi oleh peneliti Muslim ketika melakukan penelitian atas teks suci adalah bagaimana memisahkan antara sikap yang tepat yang harus diambil oleh kaum Muslim kepada kitab sucinya. Dan teori-teori apa saja yang harus diterapkan dalam penelitian karya sastra terutama yang dikembangkan di Barat.
Ada dua perbedaan signifikan dalam penelitian teks suci dan karya sastra. Hal ini dianggap sebuah kepantasan dan ketidakpantasan dari kedua buah golongan. Bagi golongan Sunni: ketidakmauan mereka menerapkan kajian kesastraan (terutama yang berkaitan dengan ilmu Al-Bayan) antara lain disebabkan oleh kekhawatiran untuk melanggar batas kapantasan ini. Bagi kaum Mu’tazilah yang berpendapat bahwa Al Quran adalah makhluk dan karenanya tidak mengandung kesucian dalam bentuk bahasanya. Sehingga baginya mampu menerapkan segala teori untuk meneliti kesusasteraan dari teks Al Quran.
Salah satu keharusan dasar dari sebuah kajian ilmiah adalah memahami obyek sebaik mungkin. Ketika obyek itu berwujud karya sastra dari teks Al Quran; teori-teori kajian pengembangannya harus diperhatikan. Di setiap kajian ilmiah, pemahaman yang benar harus selalu memenuhi persyaratan kecerdasan dan rasional. Artinya; analisis dan kesimpulannya harus tertib, mengikuti alur logika, sehingga dapat dipahami oleh orang banyak dengan penalaran yang wajar. Kecacatan dalam sebuah penelitiannya harus dihindari dan diminimalisir. Penggambaran realitas dengan detil/sesuai dengan yang diamati; bahwa Al Quran adalah salah satu ajakan untuk manusia mengambil jalan kebenaran Tuhannya. Teks-teks suci baik Al Quran dan Al Hadits tidak boleh dilakukan pengubahan. Yang bisa dilakukan hanyalah pemahaman dan penangkapan pesan baru yang mungkin belum tertangkap sebelumnya. Teks-teks agama dan rumusan ajarannya semestinya dilihat lebih utama dari fungsi moral agama. Rumusan dan argumentasinya dapat berubah, namun pesan moral dari ajaran agama tidak berubah.
• Pemikiran Islam dan Ungkapan Perasaan Muslim
Melacak jejak-jejak pemikiran Islam yang tertuang dalam puisi merupakan suatu pekerjaan yang tidak mudah. Pasalnya, sifat dasar puisi adalah ungkapan rasa. Puisi lebih banyak menekankan pada penuangan impresi daripada pemaparan pemikiran dengan bahasa jelas dan mudah dipahami. Namun impresi tersebut mampu menghasilkan sebuah keindahan tersendiri. Dalam puisi-puisi Arab sering terjadi penyimpangan-penyimpangan dari kaidah-kaidah bahasa Arab. Hal inilah yang menambah kesulitan peneliti menangkap makna yang dimaksudkan oleh sang penyair.
Orang bahkan mengatakan bahwa puisi yang baik adalah yang mengandung banyak misteri, yang tidak menjelaskan secara tuntas, namun sebaliknya. Misteri itu memberikan peluang bagi para penikmatnya untuk melengkapi dengan imajinasinya sendiri. Puisi juga merupakan salah satu pengungkapan hal-hal yang ada dalam diri manusia, dan pemikiran adalah salah satu bagiannya. Berikut salah satu contoh puisi dari Ibnu Rawahah (penyair sekaligus panglima perang Mut’ah/630 M yang meninggal dalam perang tersebut. Untuk mengobarkan semangat pasukan kaum muslimin dalam perang itu, Ia mempergunakan puisi):
1. Di antara barisan kami ada Rasulullah yang membaca kitabnya ketika fajar kebenaran merekah dengan cemerlang.
2. Ia tunjukkan petunjuk kepada kami setelah kebutaan, maka hati kami dengan itu yakin bahwa yang dikatakannya benar adanya.
3. Di malam hari, lambungnya menjauhi tempat tidurnya sementara lambung orang-orang musyrik terasa sangat berat.
Penyair menggambarkan puisi ini tentang Rasulullah. Beliau adalah fajar pembawa kebenaran. Beliau memberikan petunjuk yang memuaskan sehingga mereka yakin bahwa yang dikatakan Beliau benar adanya. Kemudian penyair menggambarkan kebiasaan Beliau yang mereka kagumi, yakni Beliau tidak banyak tidur malam, ketika orang-orang kafir tidur nyenyak. Ini memberikan isyarat bahwa kaum muslimin pun pada waktu malam tidak banyak tidur; diperkuat dengan pernyataan pada paroh kedua bait terakhir. Yang diungkapkan penyair adalah kesannya atau isi hatinya yang berupa penghormatan, keyakinan dan kecintaannya pada Rasulullah. Maka dari itu Ia menggunakan ungkapan yang melebih-lebihkan. Pengertian fajar di sini menjadi kabur antara pecahnya kegelapan di ujung malam atau pecahnya kebatilan ketika kebenaran datang.
• Kajian Kesusasteraan Al Quran: Sebuah Contoh
Pembicaraan tentang Al Quran tidak habis-habisnya dilakukan orang, bahkan Al Quran merupakan sebuah kitab yang paling banyak dibaca saat di dunia. Selain itu pembicaraan tersebut menarik banyak orang untuk mengungkap rahasianya yang begitu luas. Rahasia di berbagai aspek di dalam kajiannya. Perhatian kepada kesusasteraan Al Quran pun banyak dilakukan orang; mengenai berbagai keunggulannya. Sebab Al Quran merupakan sebuah sumber hukum utama,moral dan teologi.
• Aspek-Aspek Kesusasteraan
Berikut adalah beberapa aspek kesusasteraan dari berbagai bidang. Aspek-aspek itu berkaitan dengan bentuk yang dilakukan karena pertimbangan waktu dan kesanggupan. Antara lain yaitu:
a. Bunyi
Sebagai karya kebahasaan yang berbentuk lisan ketika dikomunikasikan untuk pertama kali, Al Quran mengandung banyak unsur keindahan. Keindahan yang berkaitan dengan bunyi. Persamaan bunyi pada akhir ayat merupakan fenomena yang menonjol pada sebagian surat-surat yang turun di Mekkah dan Madinah. Salah satu contohnya adalah surat Al Alaq yang menjadi wahyu pertama yang turun kepada Rasulullah SAW.
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ ﴿١﴾ خَلَقَ الْإِنسَانَ مِنْ عَلَقٍ ﴿٢﴾ اقْرَأْ وَرَبُّكَ الْأَكْرَمُ ﴿٣﴾ الَّذِي عَلَّمَ بِالْقَلَمِ ﴿٤﴾ عَلَّمَ الْإِنسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ ﴿٥﴾ كَلَّا إِنَّ الْإِنسَانَ لَيَطْغَى ﴿٦﴾ أَن رَّآهُ اسْتَغْنَى ﴿٧﴾ إِنَّ إِلَى رَبِّكَ الرُّجْعَى ﴿٨﴾ أَرَأَيْتَ الَّذِي يَنْهَى ﴿٩﴾ عَبْداً إِذَا صَلَّى ﴿١٠﴾ أَرَأَيْتَ إِن كَانَ عَلَى الْهُدَى ﴿١١﴾ أَوْ أَمَرَ بِالتَّقْوَى ﴿١٢﴾ أَرَأَيْتَ إِن كَذَّبَ وَتَوَلَّى ﴿١٣﴾ أَلَمْ يَعْلَمْ بِأَنَّ اللَّهَ يَرَى ﴿١٤﴾ كَلَّا لَئِن لَّمْ يَنتَهِ لَنَسْفَعاً بِالنَّاصِيَةِ ﴿١٥﴾ نَاصِيَةٍ كَاذِبَةٍ خَاطِئَةٍ ﴿١٦﴾ فَلْيَدْعُ نَادِيَه ﴿١٧﴾ سَنَدْعُ الزَّبَانِيَةَ ﴿١٨﴾ كَلَّا لَا تُطِعْهُ وَاسْجُدْ وَاقْتَرِبْ ﴿١٩﴾
Contoh ini memberikan gambaran bagaimana Al Quran mempergunakan sajak pada akhir ayat. Menjadi persoalan memang, mengapa tidak ada keteraturan pada jumlah ayat yang mempunyai sajak sama dalam satu kelompok. Di dalam contoh ini terdapat 2 ayat dengan akhiran –aq, 2 dengan akhiran –am, 8 dengan akhiran -ậ, 4 dengan akhiran –ah dan satu dengan akhiran –ib. Ayat yang terakhir tidak dikatakan bersajak karena tidak ada kawannya.
b. Gaya bahasa
Gaya bahasa yang penting diingat adalah majaz atau perumpamaan. Salah satu contohnya dalam surat An Nur/24 ayat 35 yang menggambarkan tentang cahaya Allah dengan sangat indah dan kompleks:
“Allah adalah cahaya langit dan bumi, perumpamaan cahaya-Nya adalah seperti ceruk yang didalamnya terdapat lampu. Lampu itu ada dalam kaca. Kaca itu seakan-akan bintang mutiara yang dinyalakan dengan pohon yang diberkati pohon zaitun yang tidak ke timur, tidak pula ke barat. Getahnya hampir-hampir bersinar walaupun tidak tersentuh api cahaya di atas cahaya.”
c. Cerita
Cerita-cerita banyak sekali terdapat dalam Al Quran. Muhammad Ahmad Khalafallah meneyebutkan adanya tiga warna kisah dalam Al Quran. Pertama, warna historis; untuk kisah-kisah yang berkenaan dengan tokoh-tokoh sejarah seperti para nabi dan rasul. Kedua, warna tamsil; kisah disampaikan untuk menjelaskan sesuatu; tidak penting tokohnya historis apa tidak. Ketiga, warna mitos; untuk kisah-kisah yang digunakan untuk merealisasikan tujuan ilmiah, menafsirkan fenomena eksistensial atau menjelaskan persoalan sulit bagi akal untuk menangkapnya. Unsur-unsur mistis dalam cerita-cerita seperti ini tidak menjadi tujuan, melainkan sebagai alat untuk menyampaikan pesan saja.
d. Humor
Memang agak sulit untuk menerima adanya humor dalam Al Quran, mengingat bahwa ia berasal dari Allah, sebagai petunjuk bagi manusia. Sementara itu orang memahami kehidupan yang dianjurkan oleh Al Quran adalah kehidupan yang serius, sedangkan humor memberikan kesan ketidakseriusan. Akan tetapi, kalau anggapan seperti ini disingkirkan untuk sementara, dapat ditemukan beberapa hal yang menunjukkan humor. Kisah Nabi Ibrahim dengan kaumnya merupakan salah satu contoh yang menarik untuk itu.
“Kemudian ia pergi dengan diam-diam kepada berhala-berhala mereka; lalu ia berkata: "Apakah kamu tidak makan, Kenapa kamu tidak menjawab?" Lalu dihadapinya berhala-berhala itu sambil memukulnya dengan tangan kanannya (dengan kuat). Kemudian kaumnya datang kepadanya dengan bergegas. Ibrahim berkata: "Apakah kamu menyembah patung-patung yang kamu pahat itu ? Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.” (QS. As Shaffat/37: 91-96)
Bisakah kita membayangkan bagaimana Nabi Ibrahim berkata, mengejek kepada patung-patung itu, “Apakah kalian tidak makan?” Lalu kita bayangkan bagaimana pula mimiknya ketika mengucapkan pertanyaan itu. Demikian juga mimik kaumnya yang mendatanginya dengan kemarahan, lalu mendengar jawaban yang membuat mereka tidak berkutik.
• Menangkap Makna Keislaman
Contoh-contoh kajian di atas dapat dilakukan dengan keasyikan yang luar biasa dan menghasilkan hal-hal baru tentang kenyataan Al Quran dan sumber-sumber lain dari agama Islam yang berbentuk karya kebahasaan. Yang menjadi persoalan kemudian adalah apa sumbangan dari kajian kesastraan dan kebahasaan seperti ini bagi pemahaman yang lebih baik terhadap karya-karyanya. Dengan kata lain, bagaimana meletakkan kajian itu dalam usaha untuk menangkap petunjuk keagamaan daripadanya?
Para ulama menafsirkan Al Quran dan Al Hadits, dorongan utamanya adalah menangkap hal-hal yang mesti dipegangi dalam kehidupan seorang muslim. Hal pertama yang mesti dikaji oleh ummat muslim adalah pendekatan kesastraan dan kebahasaan Al Quran. Apa pesan moral dari obyek Al Quran itu sendiri. Penelitian semestinya tidak berangkat dari rasa ingin tahu semata, melainkan dari persoalan nyata dalam tradisi kelimuan atau kenyataan hidup masyarakat. Dengan demikian, kajian sastra bukan hanya berarti mengungkapkan keindahan karya sastra. Melainkan menggunakan pengetahuan tentang hakikat dan tabiat kesastraan untuk menangkap pesan dan memahami relevansinya dengan keperluan masa kini.
• Hambatan
Meneliti konteks kajian kesusasteraan atau kebahasan dalam Al Quran tidaklah mudah. Salah satu hambatannya adalah: hambatan psikologis yang berupa rasa takut atau ketidakpantasan untuk memperlakukan teks suci sebagai obyek kajian teori dan metode. Untuk mengatasi hambatan ini dengan penelitian secara ilmiah; atas dasar kesungguhan, kejujuran dan dapat dipertanggung jawabkan. Hambatan lainnya berasal dari pengawasan; tokoh agama yang sangat curiga kepada kajian ilmiah karena dianggap akan merugikan agama. Cara mengatasinya yaitu dengan sikap taktis; tidak menyampaikan hasil kajian kepada masyarakat begitu penelitian selesai, melainkan menunggu sampai keadaan cukup matang untuk menerima perubahan.
• Penutup
Orang belum dapat disebut tahu benar tentang Al Quran, sampai ia melihat banyak wajah darinya; keindahan bahasa dan ketinggian nilai kandungannya merupakan salah satu wajah darinya. Dan masih banyak lagi wajah-wajah Al Quran.
Idealnya, pandangan agama dan temuan pengetahuan dapat digabungkan atau setidak-tidaknya tidak berbenturan. Ketika ilmu pengetahuan menemukan kenyataan bahwa bumi itu bulat, sementara Al Quran menyebutkan bahwa bumi itu datar, dan orang beriman akan mengalami kesulitan atas kebenaran kedua pernyataan tersebut. Dalam kasus ini dapat diajukan pemahaman bahwa bumi itu memang berbentuk bulat, tetapi dalam perasaan manusia itu datar; tetapi tidak selamanya demikian. Ada banyak kasus-kasus lain yang memerlukan banyak penjelasan dan argumen, sehingga diperoleh kesesuaian antara rumusan agama dan temuan pengetahuan di dalamnya.

Minggu, 08 Mei 2011

Rabu, 20 April 2011

Issues:Hijab

The author of article: B. Syed, Ph D
The sources of article: www.irfi.org



(head cover) for Muslim women is not mandated in the Qur’an. If it is,
it is only the subjective interpretation of an Ayah (verse) on the part
of the reader. Hence many Islamic Scholars say that according to Hadith,
a woman should cover her whole body, except her face and hands.
Majority of the Muslims do not know in which Haidth this is mentioned. A
very limited number of Muslims know that this is in Sunan Abu Dawud.
The English translation of Sunan Abdu Dawud is in three volumes. Again
nobody ever mentions that it is in Volume Three. Actually it is in
Volume 3, Book XXVII and Chapter 1535, and Hadith number 4092, titled
“HOW MUCH BEAUTY CAN A WOMAN DISPLAY?" For the benefit of the readers
the exact Hadith is reproduced below:
(4092) ‘A’isha said: Asma’, daughter of Abu Bakr, entered upon the
Apostle of Allah (May peace be upon him) wearing thin clothes. The
Apostle of Allah (peace be upon him) turned his attention from her. He
said: O Asma’, when a woman reaches the age of menstruation, it does not
suit her that she displays her parts of body except this and this, and
he pointed to her face and hands.3523
Abu Dawud said: This is a mursal tradition (i.e. the narrator who
transmitted it from ‘A’isha is missing) Khalid b. Duraik did not see
‘A’ishah).
[3523. When a woman reaches the age of puberty, she must observe purdah
and have a thick veil which conceals her beauty. She may unveil her face
and hand up to the wrists. In modern times some scholars have
prohibited to unveil face out of precaution.]

It is very interesting to note that no one- neither the Muslim Scholars
nor the Muslim Ummah ever pointed out that this Hadith is a m u r s a l
Hadith or weak hadith, although it is imperative that when one uses a
weak Hadith for any reason then one should explain it to the people that
this is a weak Hadith. What is a mursal hadith? First of all what is
Hadith?
Hadith is an Arabic word, which in its real sense means a tale, speech,
chat, conversation or communication. In a technical sense, Hadith or
Tradition means all the sayings, deeds, decisions of Prophet Muhammad
(pbuh), and his silent approval of the behavior of his companions and
descriptions of his personality. Each Hadith is prefaced by a chain of
narrators called Al-’Isnad. Al-’Isnad was the chain of people through
whom the Hadith was transmitted. The second part of the Hadith is
Al-Matn, the content, which reports the teaching or the incident. Every
Hadith or Tradition must have a chain (‘Isnad) as well as the Text
(Matn).
There are three main categories of the Hadith called (1) As-Sahih or the
Authentic Hadith (2) Al-Hasan or the Good. Some of its narrators have
been found to have a weaker memory in comparison to the narrators of
Sahih Hadith, and (3) Ad-Da’if or the Weak. This refers to that
Tradition in which there is some problem in either the chain of
transmission, in the proper understanding of the transmitter or in its
contents, which may be in disagreement with Islamic belief and practice.


Ad-Da’if Traditions are further divided according to the degree of
problems with their reporters (ruwaat) or in the text (Al-Matn) of the
reports. A few of these divisions are as follows:
a) Al-Mursal: A Hadith in which a Tabi'i (those who succeeded the
Sahabah or companions of the Prophet (pbuh) transmits from Rasulullah
(pbuh) directly, dropping the Sahabi from the ‘Isnad.
b) Al-Munqati: A Hadith going back to the Tabi’i only.
c) Al-Mu’dal: A Hadith in which two continuous narrators are missing in
one or more places in the ‘Isnad.
d) Al-Mu’allaq: A Hadith in which one or two transmitters are omitted in
the beginning of the ‘Isnad.
In Shari’ah or Islamic Law only the authentic (sahih) and good (hasan)
Ahadith (plural of Hadith) are used in deriving the rules. The weak
(da’if) Ahadith have no value for the purpose of Shari’ah.
As stated above that Imam Abu Dawud himself said that this is a mursal
tradition (i.e. the narrator who transmitted it from ‘A’isha is
missing). What I interpret is that the narrator of this Hadith is Khalid
b. Duraik who did not see 'A'ishah (Radhi Allahu Anha (May Allah be
pleased with her)). As this is a weak Hadith, it has no value for the
purpose of Shari’ah, that means no Muslim or Islamic Republic or
government can pass laws punishing a Muslim woman who does not observe
Hijab, particularly covering the hair on their head. This is not being
practiced in the so-called Islamic countries where religious police are
threatening Muslim women who do not observe Hijab, with their canes.

I have all along maintained in my arguments that Islam emphasizes on
modesty in the dress of Muslim women, but no where it mandates the
wearing of Hijab (head cover). As a matter of fact modesty in dress is
also required on the part of the Muslim men.
In the matter of hijab, the conscience of an honest, sincere Believer
alone can be the true judge, as has been said by the Noble Prophet: "Ask
for the verdict of your conscience and discard what pricks it."
Islam cannot be properly followed without knowledge. It is a rational
law and to follow it rightly one needs to exercise reason and
understanding at every step.


Review Article of “Tradition Class” on the Title: “issues:Hijab”

Sejauh ini, persoalan tentang hijab bagi seorang wanita menjadi persoalan krusial, khususnya bagi seorang muslimah. Bagaimana tidak? Banyak orang berpendapat bahwa hijab (penutup aurat) bagi perempuan muslim tidak diamanatkan dalam Al-Quran. Jika iya, itu hanyalah sebuah interpretasi subyektif dari para pembacanya. Oleh karena itu banyak ulama islam mencari sumber lainnya melalui Al-Hadits. Al-l hadits yang menjelaskan seorang wanita harus menutupi seluruh tubuhnya, kecuali wajah dan tangan.
Selanjutnya di kalangan muslim, timbullah sebuah perdebatan antara kebenaran Al-Quran dan Al Hadits. Spesifikasinya adalah Al-Hadits yang menjelaskan tentang hijab tersebut. Sebagian besar muslim tidak tahu persis posisi hadits tersebut. Posisi yang mengacu kepada tingkat status hadits. Status tertinggi adalah kesahihan. Keterbatasan orang islam mengetahui hadits tersebut hanya ada dalam Sunan Abu Daud. Terjemahan buku Sunan Abu Daud dalam 3 jilid, berbahasa inggris. Tepatnya di buku XXVII, bab 153, dan nomor hadits 4092, berjudul “Seberapa batasa batasan kecantikan yang boleh ditampakkan dari seorang wanita?.”
Dalam buku yang ditulis oleh Sunan Abu Daud di hadits 4092 diceritakan; ‘Aisyah berkata kepada Asma’, putri Abu Bakar, masih berkeluarga dengan Rasulullah, ketika ia mengenakan pakaian tipis. Rasulullah SAW mengalihkan perhatian darinya. Dia (Rasulullah SAW) berkata: ketika seorang wanita mencapai usia menstruasi, tidak pantas baginya menampilkan bagian-bagian tubuhnya kecuali ini dan ini (Beliau menunjuk wajah dan tangan Asma’) .
Pendapat Abu Daud tentang hadits di atas ialah hadits mursal. Dan hadits mursal itu sendiri adalah kategori hadits yang tidak memiliki nilai untuk tujuan syariat. Istilah lainnya, tidak ada Republik Islam atau sekelompok muslim yang berhak menghukum seorang wanita yang tidak memperhatikan hijabnya. Bagi kita, para cendekiawan muslim akan heran mendengar hadits itu tak memiliki nilai dalam syariat yang benar. Sebab sejauh ini kita tahu bahwa hijab bagi seorang wanita merupakan hal yang sangat fundamental. Kendati pun hadits itu mursal (rusak) ataupun dhaif (lemah), Al-Quran telah menjadi sumber yang kuat. Sumber atas anjuran untuk memperhatikan hijab bagi seorang wanita. Lantaran Al-Hadits hanyalah mubayyin (penjelas) dari Al-Quran.
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak-budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (Qs. An-nur/24:31)
Untuk membedakan apa itu hadits mursal dan sahih; pengkategorian hadits mursal dan shahih itulah yang terpenting, Kita harus mengetahui lebih jauh tentang Ulumul Hadits.
Hadits adalah bahasa arab; arti sesungguhnya ialah kisah, ucapan, percakapan atau komunikasi. Dalam pengertian terminologi, hadits atau tradisi (kebiasaan) berarti semua perkataan, perbuatan, keputusan atau persetujuan Nabi Muhammad SAW; persetujuan dengan diam tentang perilaku sahabat dan deskripsi kepribadiannya.
Sebuah hadits terdiri dari Al-Isnad dan Al-Matn. Al-Isnad adalah rantai orang-orang yang meriwayatkan, atau sandaran periwayatan. Sedangkan Al-Matn adalah redaksi hadits atau isi, yang melaporkan pengajaran atau kejadian. Setiap hadits (tradisi) harus memiliki rantai (isnad) serta teks (matan).
Pengkategorian hadits terbagi menjadi tiga bagian utama. Pertama, hadits As-Shahih (hadits autentik). Kedua, hadits Al-Hasan (hadits baik). Ketiga, hadits Ad-Da’if (hadits lemah). Hadits Ad-Da’if dibagi sesuai dengan tingkat permasalahannya. Hal ini merujuk kepada hadits di mana ada beberapa permasalahan di dalam rantai transmisi; pemahaman dari segi isinya, ketidaksinambungan sanad, perselisihan dalam kepercayaan islam dan praktik. Beberapa devisi tersebut adalah sebagai berikut:
1. Al-Mursal: sebuah hadits yang ditransmisikan langsung dari Rasulullah (rusak).
2. Al-Munqati’: sebuah hadits yang kembali ke tabi’i saja (terpotong).
3. Al-Mu’dal: sebuah hadits yang dua periwayatnya tidak jelas di salah satu tempat atau lebih dalam isnad.
4. Al-Mu’allaq: sebuah hadits baik satu atau dua periwayatnya hilang di permulaan isnad.
Dalam syariat/hukum islam, hanya hadits sahih dan hasan-lah yang digunakan sebagai pedoman penentu kebenaran. Hadits dha’if tidak memiliki nilai dalam penentuan syariat/hukum islam, walaupun isi atau redaksi makna hadits tersebut mengandung kebaikan.
Kembali pada topik permasalahan tentang hijab bagi kaum wanita, khususnya seorang muslimah. Penulis artikel ini menyatakan bahwasanya kehadiran hadits tersebut berstatus mursal (periwayat yang ditransmisikan dari Aisyah hilang). Hadits yang tidak menguatkan bahwa ketidakpemerhati mereka atas hijab menyebabkan pelanggaran. Kemudian, hal tersebut juga tidak dipraktikkan di Negara-negara islam seperti halnya Saudi Arabia; tak ada perundang-undangan dalam Negaranya tentang ancaman wanita muslim yang tidak mematuhi hijab, dengan tongkat hukum mereka.
Penulis tersebut berargumen bahwa islam hanya menekankan pada kesederhanaan dalam pakaian wanita muslim, bukan pada mandat untuk mengenakan hijab, khususnya penutup kepala (jilbab); cenderung kepada kesadaran pribadi masing-masing. Sebagaimana telah disabdakan oleh Rasulullah SAW: “Mintalah putusan hati nurani kamu dan membuang apa yang menjadi gangguan”
Berbicara mengenai argumen setiap orang tak akan ada ujung penyelesaiannya.. Penyelesaian hanya akan diperoleh dengan relativitas. Karenanya, kita membutuhkan Al-Quran sebagai solusi penyelesaian atas sebuah permasalahan dalam kehidupan. Dan tak hanya sampai di situ, penafsiran Al-Quran harus dilakukan dengan keobyektivitasan dan empirisitas. Wallahu’alam..!